5 Mei kemarin, tepat 3 bulan aku
meninggalkan rumah, meninggalkan orangtua, sahabat dan segala memori yang
menggantung di langit-langit kota tercinta. Tinggal di Palembang bersama
orangtua mungkin adalah keinginan yang sudah tidak bisa lagi dipenuhi, nasib
sudah mengubah semuanya, Tuhan punya jalan yang berbeda. Panggilan “ayuk” pun
sudah berubah menjadi “teteh”. Ya, saat ini aku tengah menjalani salah satu
skenario terbaik Tuhan, menjadi warga Kabupaten Baleendah, Bandung, Jawa Barat.
Ketika mengeluhkan keberadaan
saat ini, maka banyak pula yang mengatakan, “Bandung itu kota impian anak OJT,
enak kamu dapet di sana.” Sebelumnya, tidak pernah terpikir akan hidup di sini,
mungkin entah sampai kapan, bisa sampai pensiun mungkin. Entahlah, biarlah
Tuhan yang mengatur segalanya, tugasku hanya cukup dengan menjadi kuat.
Saat itu, 5 Februari 2017, pukul
03:00 dini hari aku melangkah keluar dari rumah, tempat tinggal bersama kedua
orangtua dan saudaraku. Sejak langkah pertama itu, satu hal yang wajib kujalani
adalah “menjadi kuat” karena aku tahu, setelah langkah pertama itu aku akan
menjalani segalanya dengan keadaan yang akan sangat berbeda.
10 hari mengikuti pendidikan
militer di Pusikpom Cimahi mendidikku menjadi pribadi yang kuat dan tegar, di
saat segalanya dilakukan tanpa keluh. Sebelum ke Cimahi, aku dan teman-teman
dari Palembang turun di bandara Soekarna Hatta. Perasaan bahagia sekaligus sedih
karena meninggalkan rumah begitu campur aduk, selama di pesawat yang ada dalam
pikiranku adalah: “Aku sudah jauh dari Ayah, Ibu, dan saudaraku. Akan tetapi,
aku dekat dengan ‘dia’.”
Tuhan terlalu baik, selalu
menjawab ingin hamba-Nya meski tidak secara langsung. Ya, ini keinginanku, aku
ingin meninggalkan kota di mana aku dibesarkan salah satunya karena “dia”, yang
In Syaa Allah kelak diridoi menjadi teman sepanjang hidup. Teman yang akan
mengambil alih segala kewajiban Ayah dan Ibu, teman yang akan selalu ada dalam
kondisi apapun. Dan, Tuhan pun Maha Baik, kami menjadi begitu dekat.
Waktu itu, dia sudah berjanji
untuk menjemputku di bandara, meskipun saat itu dia hanya bisa menunggu di
luar. Perasaan bahagia begitu menyeruak, wajar saja, kami terakhir bertemu
sekitar 3 bulan sebelumnya. Setelah berhasil menerobos kerumunan berseragam
hitam putih di depanku, aku melihat dia berdiri dengan senyumnya yang rekah,
waktu yang hanya singkat itu pandai sekali mempermainkan perasaan kami. Aku dan
dia hanya sempat berfoto seadanya karena rombongan kami sudah harus masuk ke
damri untuk diangkut ke Cimahi. Dan, kami pun kembali terpisah oleh jarak.
Hari pertama pendidikan militer
tak urung membuat kami yang baru saja berpisah dengan orang-orang terkasih
ingin menyerah rasanya. Sampai di markas TNI ketika azan magrib, setelahnya
kegiatan lansung dimulai ala militer sampai jam 11 malam. Kemudian masuk ke
barak yang diisi oleh satu kompi. Kamar mandi, tempat tidur, semuanya berbagi.
Bertemu dengan teman-teman dari semua provinsi. Tidak ada lagi keluhan, yang
ada hanyalah menjalani.
Di hari pertama orientasi
keesokan harinya, kami diguling di lapangan luas, dihantam suara-suara peluru.
Aku dan teman-teman sudah semaput. Dikasih makan siang ala tentara, belum lagi
disuruh ini itu, segala macam yang ada dalam orientasi kemiliteran. Hampir
setiap malam setelah latihan selesai aku diam-diam nangis di balik selimut,
supaya tidak ketahuan teman satu barak. Tangan dan kaki lecet, badan lelah,
muka gosong, rengekan dalam hati cuma satu: “Ayah, Ibu, mau pulang.”
Baru lepas dari kurungan militer,
kami pun beralih ke Depok, tepatnya di Kinasih Resort Depok untuk mengikuti
pembidangan, sekolah lagi. Tanggal 16 Februari sampai 18 April kami di sana. Setiap
Senin sampai Jumat belajar, dengan segala macam tata tertibnya, mulai dari
mandi, makan, berjalan dan segalanya. Hari Sabtu dan Minggu pun masih ada
kegiatan, HP dikumpul dan baru bisa diambil Jumat sore. Untungnya, setiap hari
Minggu kami boleh dikunjungi.
Dia, dengan segala perjuangannya
hampir setiap 2 minggu sekali mengunjungiku dari Tangerang ke Depok. Sungguh
Tuhan Maha Baik, aku diberi dia yang sejauh ini begitu sabar dan tulus.
Entahlah, aku pun belum bisa membalasnya hingga kini.
Selama dua bulan belajar, aku
bertemu banyak karakter manusia yang lagi-lagi membuatku menjadi kuat. Mulai
dari yang manja, mandiri, baik, jahat, egois, dan sebagainya. Semua berkumpul
menjadi satu. Saat itu aku sekamar dengan teman dari Blitar, Nganjuk, dan
Selapan (daerah di kota Palembang), dan ketiganya lebih muda dariku. Jadilah
selama masa pendidikan aku memiliki banyak anak.
Sampai pada saat pembagian
penempatan, aku ditempatkan di kantor Distribusi Jawa Barat bersama 11 teman
yang lain, yang 6 di antaranya juga orang Palembang. Tentulah aku masih biasa
saja, masih belum terasa sepi, perjuangannya masih belum begitu terasa. Hampir
diculik gocar pun berdua, masih ada teman. Jalan-jalan rame-rame selama 10 hari
menginap di hotel Nandya di Jalan Pangarang Bandung.
Rabu, 27 April 2017 perjuangan
sebenarnya dimulai. Aku ditempatkan di kantor PLN Area Majalaya. Hari itu dia
pulang pagi karena harus bekerja dengan shift malam, tapi dia sudah berjanji: “Mau
di manapun kamu ditempatkan, di Papua sekalipun, aku bakalan ambil cuti buat
nemenin kamu.” Dan, jadilah dia berangkat jam 2 siang menuju Bandung, tiba
sekitar habis isya. Lagi-lagi, aku beruntung memiliknya, benar-benar tidak ada
kata tidak, meski aku tahu kalau dia begitu lelah.
Malam itu, kami naik gocar menuju
Baleendah. Kami tiba sekitar pukul 09:45 WIB. Saat itu kami di drop di depan
kantor PLN Area Majalaya, dengan gesitnya dia membawa koper dan tasku.
Sementara aku hanya membuntut di belakang, baiknya waktu itu kami diantar
satpam untuk mencari kos di daerah situ. Tibalah kami di satu kos yang katanya
isinya banyak orang PLN juga. Alhamdulillah aku dapat kamar dan dia pun dapat
satu kamar kosong. Jadilah malam itu kami membersihkan dua kamar itu sampai
hampir larut. Lelahnya tidak bisa ditutupi, mata itu terlihat sayu.
Tiga hari dia menemaniku, meski
ketika aku berangkat ke kantor dia harus menghabiskan waktu hanya di kamarnya,
atau mungkin keluar hanya untuk mencari makan. Sepulang kerja dia pun menjemput
ke kantor, meski hanya jalan kaki di bawah rintik hujan. Itu sudah sangat
membuatku berterima kasih. Dia sungguh luar biasa bagiku. Entahlah, sudah tidak
ada kata-kata lagi yang bisa menggambarkan pengorbanannya sejauh ini.
Dan, sepi pun mulai mendekat
ketika dia kembali ke Tangerang. Aku mulai sendirian, meski hampir setiap mala
dia menemani via telepon, tetap saja drama menangis ketika bangun dan akan
tidur itu tidak hilang. Sadar kalau ketika bangun aku sendirian di kota orang,
lalu menangis. Aku kuat menjalani lelah karena bekerja, tapi aku rapuh ketika
mengingat aku sendirian di sini. Sering pura-pura tegar di depan orangtua dan
dia, tapi ketika mereka sibuk dan tidak punya waktu hanya untuk sekadar
menelepon, mulailah sedih itu kembali beranak pinak. Sama seperti rinduku pada
mereka. Saat ini, aku masih terus berusaha menjadi kuat, supaya kelak aku akan
lebih siap menjalani kehidupan yang mungkin lebih keras dari ini. Nanti, saat
kami sudah bersama tapi tetap terpisah jarak.
No comments:
Post a Comment