Saturday, 26 March 2016

DOA BARU YANG TAK LUPUT KULANGITKAN




Setiap kita pasti punya banyak ingin dan harap yang tak semuanya kita bagi untuk didengar orang lain, tak terkecuali sahabat. Pun aku, ada banyak harap dalam hati dan kepala. Harap tentang perkerjaan yang baik, keluarga yang bahagia, juga tentang pendamping hidup yang membawa kedamaian. Punya mimpi bekerja di perusahaan yang dapat dijadikan tempat menggantungkan masa depan, namun hanya untuk beberapa waktu saja karena pada hakikatnya diri lebih ingin berniaga saja. Ingin mencari rezeki halal dan berkah dengan tujuan yang tak lain hanyalah ingin menjadi manusia yang bermanfaat bagi orang banyak. Sebab aku tahu persis kalau ibadah pribadi saja tak cukup untuk mencari keridhoan-Nya. 

Umumnya, wanita masa kini yang gemar pergi ke sana sini tentulah mencari sosok laki-laki mapan yang mampu memenuhi segala kebutuhannya tanpa perlu banyak menguras keringat hanya untuk sekadar membeli bedak atau lipstick mahal supaya dibilang “kekinian”. Siapa yang tak mau punya suami seperti itu? Tentulah itu hal realistis karena modal cinta saja tidak cukup untuk membangun masa depan, apalagi yang bercita-cita punya anak banyak sampai-sampai bisa diajak main sepak bola di rumah.

Umumnya, laki-laki masa kini yang gemar tebar pesona sana-sini tentulah mencari sosok perempuan cantik yang bisa dibanggakan tatkala bertemu sanak saudara, tapi mau diajak hidup susah. Lah, ini mau ngajak nikah atau mau ngajak susah? Realistis saja, siapa coba yang mau hidup susah? Laki-laki kadang salah kaprah, kukira kalimat yang paling pas adalah seperti ini, “Mau cari pasangan yang mau diajak berjuang bersama menuju kebaikan.” Kenapa begitu? Sebab hidup mewah tak lantas membuat seseorang itu menjadi baik. Malah kadang terlena akan segala kemewahan, tapi kemiskinan juga sering membawa kekufuran. Maka dari itu, kukira alangkah bahagianya jika mendapat pasangan hidup yang memiliki visi dan misi yang sama, yaitu menuju kebaikan. 


Terlepas dari itu semua, beberapa waktu ke belakang aku dipertemukan pada satu sosok yang tak pernah kukira akan menjadi bagian dari cerita hidupku. Dia, seorang laki-laki yang tak pernah kukenal sebelumnya, padahal ternyata kami berada dalam satu almamater saat menempuh pendidikan D3. Dia laki-laki yang tak pernah kudengar namanya sama sekali saat itu. 

Kala itu, aku ingat betul saat pertama kali dia menambahkan akun pribadiku di akun pribadinya. Awalnya aku hanya melihat sekilas karena sudah tak aneh jika anak jurusannya menambahkan beberapa akun pribadiku karena banyak temannya yang juga temanku sewaktu sekolah dulu. Jurus selanjutnya adalah membeli novelku, saat kutanyakan komentarnya, ternyata dia hanya membaca sekilas, katanya (padahal ternyata cuma dibaca di bagian depan saja).

Lambat laun kami pun semakin sering berkomunikasi, padahal aku adalah karakter yang paling risih kalau ada laki-laki yang suka iseng, apalagi suka nanya-nanya “lagi ngapain? atau “sudah makan belum?”. Kan ngeselin. Aku bukan tipe yang mau buang-buang waktu untuk urusan yang tidak ada kepentingannya untuk segala mimpi dan masa depanku.

Setelah beberapa waktu, tepatnya di hari raya Idul Fitri dia datang ke rumah sendirian dengan berani menyapa Ayahku yang hanya berekspresi datar saat itu. Komunikasi pun semakin intens, pelan-pelan aku menyelami karakternya, sampai pada saat itu kami mengutarakan apa yang kami rasakan. Tentu tidak seperti anak SMA yang mengutarkan isi hati dengan segala macam tingkah konyol. Kami hanya mengutarkan beberapa hal tentang keinginan di masa depan dan kami pun menuju satu titik persetujuan.

Dia, laki-laki itu berhasil mendobrak pintu pertahananku setelah lebih dari tiga tahun kekeuh untuk berfokus pada mimpi dan cita-citaku saja dulu. Dia dengan segala yang dia miliki berhasil membuatku memberanikan diri untuk melangkah maju dengan sama-sama berkomitmen untuk saling menguatkan, saling berusaha, dan mencari keridhoan-Nya. 

Laki-laki itu, kesederhanannya membuatku jatuh hati. Kelembutan dan kesabarannya membuatku menyadari bahwa tak ada lagi yang aku cari. Aku hanya butuh “kententraman” batin, dan pada dia kutemukan itu. Laki-laki itu pandai membuat hati yang gusar menjadi hilang cemasnya, membuat rindu yang memuncak menjadi tenang hanya dengan mendengar suaranya. Dia, dia bagai kakak yang menyayangi adik, bagai Ayah yang melindungi anaknya, juga sahabat yang mengerti sahabatnya. 

Laki-laki itu mengajarkanku tentang indahnya berbagi meski dalam kekurangan, hingga rasa syukur tak henti dipanjatkan. Saat kutelisik dalam-dalam manik matanya, ada damai yang juga menusuk hingga ke dada. Entahlah, setiap aku mencoba menemukan sesuatu di dalamnya, aku seperti berhenti pada satu ruang yang tak pernah mau kutinggalkan. 

Saat ini, tak ada doa lain yang kupanjatkan setelah doa untuk kedua orangtua dan saudaraku, yaitu doa baru untuknya, aku, dan kami. Doa yang senantiasa kuuntai dalam setiap sujudku itu mudah-mudahan terjamah oleh tangan-Nya yang Maha Kuasa Itu.
Aku ingin hidup bersamanya, memperbaiki diri satu sama lain, saling mengingatkan satu sama lain. Kukira aku telah jatuh hati padanya, laki-laki sederhana nan menentramkan hati dan jiwa. Laki-laki yang tak pernah mau banyak mengumbar janji, namun berusaha untuk menepati. Laki-laki yang tak begitu romantis, namun tak pernah mau melihatku menangis. Laki-laki yang belum mapan, namun berkerja keras untuk menghalakanku di masa depan. 

Ingatlah, tak ada hal lain yang selalu kupinta atas segala mimpi dan cita-cita kita, ialah kau yang selalu disehatkan dan dilancarkan dalam segala urusanmu, Sayang.




No comments:

Post a Comment