Wednesday 28 November 2018

Wanita yang Kuat

Pisah; tentang jarak dan waktu.
Wanita mana di dunia ini yang sanggup terpisah jarak dan waktu dengan seseroang yang dia sayang? Tidak, sepertinya laki-laki juga tidak akan sanggup. Jika boleh memilih, bisa jadi tiga perempat manusia di dunia ini ingin bersama-sama orang yang mereka sayangi.

Di tengah hiruk pikuk kesibukan duniawi dari masing-masing kita, kadang kita sampai lupa membedakan prioritas yang harus diutamakan, atau mungkin lebih tepatnya bingung untuk menentukan hal mana yang jauh lebih penting dikarenakan kesemuanya adalah penting, misal: pekerjaan atau keluarga, me time atau berbagi dengan orang terkasih, dan hal-hal lain yang bisa dijadikan opsi dalam pengambilan keputusan.

Tak  jarang satu dari kita rela menghabiskan waktu sia-sia untuk menunggu sedikit waktu supaya bisa sekadar berbagi cerita apa saja tentang hari ini, bahkan ketiduran di depan laptop demi membunuh waktu, walaupun pada akhirnya pasangan kita memutuskan untuk beristirahat karena sudah lelah dengan segala keriwehan seharian penuh.

Begitulah kuatnya wanita, sekali dikasih emeng-emeng atau sekadar kalimat penenang "tunggu sebentar, ya." Bagi mereka kalimat itu semacam perintah yang otomatis tertanam dalam relung hati mereka, bahwa mereka akan menunggu sampai kantuk itu tiba, tak jarang kedinginan karena tak menyiapkan selimut sebelumnya.

Sepele mungkin, tapi begitu bermakna bagi kami kaum hawa.


Friday 3 August 2018

Rumor Cobaan Sebelum Menikah

Menikah.

Pernah nggak, sih, kalian dengar rumor seputar cobaan-cobaan yang datang sebelum menikah? Mulai dari kita dan pasangan yang mulai merasakan kekurangnyamanan, kurang kompak, kurang segala-galanya, ditambah lagi faktor lingkungan yang suka ikut-ikutan, terus mantan yang tiba-tiba ngajak balikan?

Well, tahun ini adalah tahun kode garis keras. Kode minta dinikahin maksudnya. Nggak, ding. Tahun ini adalah tahun di mana lingkungan sekitarku itu sudah diselimuti angan-angan pernikahan. Di mana-mana rumor yang diangkat di sela pembicaraan adalah soal "menikah".

Telingaku sudah kebal dengar soal persiapan temen-temen yang mau nikah, mulai dari temen kantor, temen kontrakan, bahkan sahabat. Ya ya ya, dara muda dengan angka kelahiran tahun 90an ke atas itu memang sudah layak menyandang gelar suami atau istri jika dipandang dari usia, tapi dari kesiapan? Siapa yang tahu.

Dari akhir tahun lalu, isi kontrakan kami sudah ikutan sibuk dengan persiapan salah satu temen kami yang nikah dengan sesama pegawai satu instansi, walau beda unit, tapi tetap saja rumor dilarang menikah sesama pegawai itu cukup jadi tantangan tersendiri buat mereka. Mulai dari lingkungan perusahaan yang memang sudah ada tercantum dalam PKB soal sanksi menikah dengan sesama pegawai, pertimbangan orangtua, bahkan pihak-pihak luar yang mencoba menggoyahkan niatan baik yang sudah ada. 

Satu lagi sahabatku yang sejak zaman kuliah sudah beberapa kali dikenalkan oleh orang-orang terdekatnya dengan laki-laki yang mau serius buat nikahin dia. Aku belajar banyak dari perjalanan mereka ini, perjalanan menuju persiapan pernikahan. Sahabatku ini sudah beberapa kali dilamar oleh laki-laki dengan berbagai profesi, mulai dari teman sekantor, pegawai bank, anggota kepolisian, pegawai BUMN jangan ditanya, sudah banyak yang tumbang di pertengahan jalan.

Sebenarnya temanku ini tidak begitu pemilih, yang penting dasar agamanya baik, orangtuanya oke ya udah tinggal akad aja. Simpelnya begitu. Tapi ya soal jodoh mau dibilang apa, saat semua sudah dirasa oke tapi Allah kasih lihat atau kasih kode kalau orang tersebut bukan yang tepat. Di awal dia sudah sangat meyakinkan, tapi di tengah perjalanan ternyata banyak hal-hal yang disembunyikan.

Kalau menurut aku, kejujuran dari awal itu adalah hal yang paling penting, karena kalau sudah nikah semua baru terbuka akan jadi salah satu pemicu keributan rumah tangga.


Nah, dari kisah temen-temenku itu adalah beberapa rumor yang bisa dikategorikan sebagai cobaan pra nikah:

1. Mulai merasa lebih banyak ketidakcocokan dengan pasangan.

Hal ini biasanya lumrah terjadi, apalagi salah satu pihak sudah merasa terlalu nyaman dan merasa aman dengan posisi hubungannya. Yang tadinya biasa perhatian banget dengan pasangannya tentang hal apapun, termasuk cuma menanyakan hari ini dia makan apa aja, menjadi sosok yang cuek yang mungkin dalam pikirannya seperti ini "ah udahlah, kegiatan dia pasti itu-itu aja, aku udah paham betul sama dia. Udah bertahun-tahun juga".
Coba lihat dari sisi pasanganmu: "kok dia udah gak pernah nanya-nanya aku soal makanku, kegiatanku, dan lain-lain, ya? apa iya dia ini serius mau nikahin aku?"

Dari hal-hal kecil seperti inilah biasanya muncul satu kesimpulan dalam kepala: "kayaknya kita udah nggak cocok deh, daripada dipaksain pas nikah nanti malah lebih parah". Dalam keadaan inilah kalau pondasi tidak kuat akan membuat salah satu pihak berpikiran untuk menemukan orang lain yang lebih "cocok" menurut persepsinya, tidak peduli seberapa lama hubungan yang mereka sudah bangun dari bawah bersama-sama sebelumnya.

2. Komentar keluarga, sahabat, dan lingkungan sekitar.

Nah, yang satu ini juga biasanya jadi faktor terbesar. Misal, orangtua cewek pengen si cowok ngasih uang sekian buat nikahin anaknya. Dipatok macam anaknya itu barang merah yang kudu dibayar mahal. Hal ini yang kadang-kadang bikin miris dengan alasan gini: "kamu itu udah disekolahin tinggi-tinggi sama orangtuamu, masa iya dia cuma ngasih sekian. Apalagi nanti kalo sampe kamu yang berenti kerja, nanti kurang loh, bisa jadi ribut nanti rumah tangga."

Hmm, pernyataan semacam ini kadang bikin miris ya, nggak heran kalo banyak yang gagal nikah gegara patokan harga kayak gini, gimana nggak coba, di sisi cowok juga mungkin pengen ngasih yang terbaik buat si calon, nggak mungkin juga kan dia mau asal-asalan nikahin orang, tapi kalo udah matok harga kayak gitu, nggak takut apa nanti abis nikah anaknya diperlakukan kayak barang karena si cowok merasa udah "beli" mahal anaknya. Sedih kan kalo kayak gitu.

Ditambah lagi nanti sanak saudara yang jauh lebih repot ketimbang orangtua kita. Ketika orangtua manut dengan segala planning kita dengan calon karena mereka sungguh paling mengerti kemauan dan kemampuan kita, di saat itulah biasanya sanak-saudara mulai mengeluarkan opini. Kudu gini, kudu gitu, jangan gini, jangan gitu, sampe orangtua kita yang tadinya pengen kita treat kayak raja supaya nggak usah berpusing ria ngurusin nikahan kita jadi stres gara-gara komentar sana-sini yang nggak tahu kondisi real kita.

3. Kehadiran orang ketiga.

Yaps! ini yang paling parah. Rumor ketiga inilah yang paling sering menjadi penyebab utama hubungan orang lain kandas di perjalanan. Semakin mendekati hari pernikahan, biasanya cobaan yang ini makin keras menghantam dinding pertahanan pasangan. Ketika sedang sibuk-sibuknya ngerencanain ini itu buat pernikahan yang sudah diidam-idamkan sejak lama, di saat rumor pertama dan kedua mulai muncul, datanglah rumor yang paling maknyus ini. Di saat kedua pasangan merasa lelah dengan segala persiapan, lelah fisik, lelah mental, bahkan finansial. Di saat masalah yang muncul harusnya dicarikan solusi bersama, datanganlah orang ketiga ini tanpa basa-basi.

Contohnya aku sendiri, di saat aku dan calonku ini mulai merencanakan segala hal tentang hari bahagia kami, meski masih hanya sebatas merencanakan, datanglah mantanku yang sudah hilang sejak 6 tahun lalu. Dia mengirim pesan di instagram tiba-tiba menanyakan apa aku udah punya pacar, kalau nggak dia mau nikahin aku katanya, tanpa basa-basi enteng aja dia ngomong mau nikahin aku, ditambah lagi ketika aku bilang aku udah mau nikah sama orang lain dia minta aku putusin calonku ini. Luar biasa kan?

Untuk aja aku masih dalam keadaan waras seratus persen, walaupun calonku ini bukan orang yang romantis, terkesan cuek dan nggak sebegitu antusiasnya aku kalo ngomongin soal nikahan, enteng aja aku jawab dia "Maaf aku udah mau nyiapin nikahan sama dia. Dia udah lama ngadep ayahku." Walaupun kenyataannya perjalanan kami masih panjang. Eh dia malah ngeyel, pake minta cariin calon yang sama kayak aku segala, kan apalah coba.

Belum lagi orang ketiga yang lain, yang dengan getolnya merayu-rayu mau nikahin lebih dulu dari calonku, padahal notabene dia bukan mantanku atau dalam kata lain kita cuma dekat. Ya walaupun dia memang datang ketika calonku ini tengah sibuk-sibukunya dan memang waktu itu aku ladenin dia sama kayak yang lain, dalam artian aku memang dekat dengan temen-temen yang lain juga, ketika ngobrolin kerjaan dan lain-lain. Tapi ya itu, nggak bisa nyalahin dia juga sih kalau akunya kuat pondasi ya gabakal jadi juga kan.

Dari setiap ada orang ketiga yang mencoba mendobrak pondasi kami, aku nggak pernah nggak cerita ke calonku ini dan dia bilang "Jangan diladeni, walau cuma cerita-cerita sebatas temen, nanti kamu jadi membandingkan ketika aku sibuk kamu berpikiran kalo dia bisa perhatian sama kamu dibanding aku, padahal dia cuma penasaran karena belum dapetin kamu."

Nah dari sini bisa diambil kesimpulan, bahwa sikap tegas kita itu dibutuhkan untuk menghadapi rumor-rumor yang bakalan dateng ketika kita tengah sibuk nyiapin pernikahan. Aku dan calonku selalu saling ngingetin, kita harus kuat, masih jauh gini aja udah banyak cobaan. Nanti-nanti kita harus semakin kuat pondasinya, karena semakin mendekati hari H akan semakin banyak pulan cobaan yang datang.

So, jangan kalah dengan rumor itu ketika kamu sudah mantap memilih dia sebagai calonmu dan "SALING" lah dalam segala hal. Saling memberi perhatian, saling merindu, saling menyayangi dan saling-saling yang lainnya.


Sunday 13 May 2018

Tentang Menjaga Hubungan

Bicara soal menjaga hubungan, beberapa waktu lalu aku sempat ngebaca snapgram temenku waktu SMA, mereka sudah pacaran sejak SMA sampai sekarang, sekitar 8 tahun sudah. Dia buat kalimat kurang lebih:
"Banyak yang ngomong, udah pacaran bertahun-tahun nggak dinikah-nikahin, emang nggak bosen? apalah-apalah. Kalau nggak tahu ceritanya nggak usah komentar, setiap orang punya alasan masing-masing dalam menjalani hubungannya."

Itu yang pertama, kemarin malem dia ngepos lagi tulisan yang isinya cerita atau pengalaman orang lain yang sudah lama menjalin hubungan, sekitar 5 tahun tapi di tengah perjalanan pacarnya merasa bahwa mereka sudah tidak cocok lagi, mereka sering ribut, sering tidak satu jalan, dan akhirnya dia memutuskan untuk mengakhiri hubungan mereka dan mencoba mencari laki-laki lain yang satu visi dan misi untuk ke depan dengan alasan kalau dilanjutkan ke jenjang pernikahan, dia takut rumah tangganya tidak akan berjalan dengan baik. Padahal dia sudah tahu hal itu sejak lama dan dulu mereka masih mau saling memaklumi, tapi semakin mendekati waktu pernikahan (mereka sudah merencanakan) malah perempuan itu berubah pikiran.

Di situ aku menangkap satu pesan, juga mungkin yang dimaksud temenku itu, bahwa menjaga hubungan adalah kembali kepada pribadi kita masing-masing. Memang jelas, jawaban dari kegamangan hubungan pasangan yang sudah berjalan bertahun-tahun adalah dengan menikah, dan sudah sangat benar bahwa agama itu melarang menjatuhkan hati sebelum pernikahan karena hal ini.

Aku juga pernah baca buku Ustad Felixsiauw yang judulnya "Udah Putusin Aja", di dalamnya dikatakan bahwa bagi yang tengah menjalani ta'aruf pun ada batas waktu maksimal, sebab kenapa, hati manusia itu mudah berubah, ditakutkan kalau terlalu lama, pilihan yang tadinya mantap akan tiba-tiba berubah.

Aku tidak menghakimi mereka yang sudah menjalani hubungan dengan waktu yang terhitung sudah sangat lama, bahkan aku pun tengah menjalaninya. Benar, bahwa hati itu berbolak-balik, aku yang sejak awal membulatkan dalam hati bahwa pilihanku ini adalah yang terbaik, adalah jawaban doaku saja kadang masih bimbang. Bimbang kenapa, tiba-tiba aku merasa kalau aku belum tentu bisa menjadi sepenuhnya yang dia mau, belum tentu menjadi yang selama ini dia dambakan. Pikiran-pikiran itu lebih sering berkecamuk, bahkan kadang terpikir apa dengan beberapa kekuranganku suatu saat dia akan berpikir dua kali untuk meminangku.

Benar, jodoh itu adalah cerminan diri kita sendiri. Dulu, aku berdoa supaya diberi pasangan yang sederhana, satu visi-misi, mau memulai semuanya bersama. Misal, nabung bareng buat biaya nikah dan sebagainya, bukan pasangan yang mampu memberiku segala, mulai dari pernikahan impian, kehidupan mewah dan lain sebagainya, bukan itu.

Entahlah, apa mungkin akunya yang terlalu baper atau terlalu tinggi daya khayal yang sering membayangkan betapa bahagianya hidup sederhana bersama pasangan dengan impian yang tidak begitu tinggi, hanya ingin bersama pasangan yang menenangkan hati dan berada di jalan yang diridhoi-Nya.

Impianku adalah setelah menikah hidup dan menua bersama, mungkin kami harus tinggal di rumah kontrakan dengan sama-sama menabung untuk membeli rumah sendiri, kalaupun tidak tercapai, aku hanya bermimpi kalau kehidupan kami berjalan harmonis, aku dan suami punya banyak waktu menjalani hari-hari, belajar ilmu agama, mendidik anak, atau berniaga kecil-kecilan.

Bukan impian yang tiba-tiba dinikahi laki-laki kaya yang sudah siap segalanya, rumah, mobil, bisnis dan lain-lain hingga aku hanya tinggal berleha duduk manis di rumah menunggunya pulang, tapi sungguh kami tak punya waktu untuk sekedar bercengkerama di waktu malam. Bukan, sama sekali bukan itu.

Jadi, saat ini yang menjadi pemacu terkuatku dalam menjalani apa yang harus aku jalani dalam hidup ini selain keluargaku adalah semangat untuk berumah tangga sederhana, harmonis, dan berada di jalan terbaik Allah, itu saja. Ini mungkin sedikit sulit, menyita kesabaran dan keikhlasan, tapi semoga saja Allah senantiasa menguatkan.

Tuesday 1 May 2018

Menjadi Kuat

Kuatlah, akan ada banyak air mata yang tak perlu mereka tahu, yang tak perlu kau bagi pada orang terkasihmu.

Air mata sepi, air mata rapuh, air mata kesendirian.

Kadang, membagi cerita pada diri sendiri lebih baik daripada membebani pundak orang lain dengan segala hiruk pikuk dalam dada dan kepalamu.

Kuatlah.

Thursday 22 March 2018

Don't Act Like a Boss

Memasuki usia yang makin hari makin harus dewasa, menurut kalian belajar menempatkan diri itu seberapa penting, sih? Di lingkungan kerja utamanya.


Spesies Berambisi Tinggi

Teruntuk kalian yang masih mencari pekerjaan yang lebih baik di luar sana, yang juga mungkin punya impian bekerja di perusahaan milik negara yang digadang-gadang akan mensejahterahkan kehidupan hingga anak cucu mendatang, terkhususnya wanita, kudoakan kalian menjadi wanita sekuat-kuatnya wanita.

Why? Karena tidak semua yang kamu impikan itu berjalan sesuai dengan yang kamu mau, terlebih kalau kalian harus tinggal di kota orang. Berbagai suku bercampur menjadi satu dalam satu wadah yang dinamakan perusahaan. Ketika di dalam otakmu tertanam keras untuk merantau demi kehidupan yang lebih baik, maka tanamkanlah pula sedalam-dalamnya bahwa kamu harus siap menempatkan diri dalam keadaan apapun.

Sedikit sharing aja, sih. 27 April 2017 lalu, berarti menuju setahun lah aku bekerja di salah satu perusahaan milik negara yang mungkin hingga kini digandrungi banyak fresh graduate atau bahkan yang sudah bekerja di tempat yang sudah baik. Kalau dikatakan senang, ya bersyukur alhamdulillah setelah dua kali gagal tes akhirnya aku dikasih rezeki buat kerja di sana, di kota Bandung pula, kota yang jadi idaman perantau, katanya.

Ya sebenarnya tidak sebegitu enak seperti yang dilihat orang, tetap saja di kota ini aku berjuang dengan segala hal, dengan ambisi orang lain khususnya. Kenapa berjuang dengan ambisi orang lain? Ya itu, bekerja di perusahaan yang punya tujuan utama untuk kebaikan negara itu tidaklah segampang yang dilihat, semua pekerjaan berdasarkan target. Tidak jarang aku harus pulang larut, jalan kaki sendirian di bawah hujan sambil memeluk berkas sambil menangis ingat orangtua di rumah.

Belum lagi bertemu dengan orang-orang yang punya ambisi lebih, karir yang lebih baik. Wajar sebenarnya, hanya saja kadang ada beberapa kepala yang punya tujuan besar untuk hidupnya malah membuat orang lain tidak nyaman. Contoh, ada partner kerja yang mati-matian bekerja untuk mencapai target kinerja perusahaan, sampai rela tidur di kantor segala, tapi tidak punya jam kerja yang baik. Disebabkan dia sering pulang larut, di pagi hari dia tidak datang tepat waktu, atau sering menghilang entah  ke mana di saat jam kerja, tapi ketika yang lain sudah beranjak akan pulang barulah dia sibuk memulai pekerjaannya.

Lalu bandingkan dengan yang lain, misalnya kamu sejak malam sudah merencanakan apa yang akan kamu kerjakan selama jam kerja di kantor keesokan harinya. Kamu datang tepat waktu, lalu setelah duduk di bangku panasmu kamu mulai mengambil secarik kertas kemudian menuliskan apa-apa yang akan kamu kerjakan dalam satu hari itu, berikut juga batas waktu dari setiap pekerjaan. Sehingga, ketika sudah waktunya jam pulang, kamu pun bisa lega untuk pulang tepat waktu. Akan tetapi ketika memang diperlukan untuk lembur, kamu pun tahu diri kalau tidak seharusnya kamu pulang lebih dulu.

Nah, menurut kalian sikap manakah yang tepat bagi kita para pegawai? Apakah kualitas seorang pegawai dilihat dari seringnya dia pulang malam atau dari seberapa tepatnya dia mengatur waktu kerjanya.

Ya, kalau menurutku pribadi itu kembali lagi ke visi dan misi hidup masing-masing. Ketika seseorang berambisi kuat untuk karir, maka dia seperti tidak punya kehidupan lain, bahkan dalam satu minggu penuh dia dikuasai oleh pekerjaan. Hm, atau yang demikian dianggap lebih bisa diandalkan?

Aku pribadi termasuk spesies yang tidak begitu tertarik akan hal itu, mungkin salah, seharusnya siapapun yang berani nyemplung dalam kubangan ini harus berani basah-basahan,bukan? Tapi kembali lagi, aku punya kehidupan lain, aku punya keluarga, orang yang disayang, bahkan aku butuh waktu untuk diriku sendiri.

Nah kadang apa yang menjadi prinsip hidup kita tidak sepenuhnya bisa diterima orang lain, akan ada cibiran-cibiran yang mungkin terdengar kurang enak ketika kamu berada di jalan yang menurutmu sudah benar. Herannya lagi kadang aku berpikir, apapun yang kita lakukan maka yang menuai hasil adalah kita. Lantas kenapa masih ada jenis makhluk hidup yang merasa jengkel ketika kelelahan yang dia tanam tidak disentuh sedikitpun oleh orang lain.

Maksudnya gini, ketika ada yang bekerja jor-joran lalu mendapat nilai yang baik dan hasil financial yang memuaskan merasa kamu itu terlalu santai. Tidak sama seperti dia. Padahal apapun yang didapatnya tidak sedikitpun kamu makan.

Kira-kira begitulah gambaran ketika banyak kepala yang beragam isi di dalamnya menjadi satu. Mudah-mudahan kalian yang nanti juga akan masuk ke dalam kubangan ini jauh lebih siap dibanding aku yang masih suka baperan kalau dizolimi orang lain. Perasa mungkin.

Friday 16 February 2018

Kenapa Nggak Pernah Nulis lagi?


Sebuah kalimat pertanyaan itu sudah beberapa kali dalam beberapa tahun ke belakang bermunculan. Ya, tepatnya, sih, setelah aku memang nggak nulis lagi. Sekitar tahun 2015 kemarin, ketika aku udah nyemplung di dunia kerja, aku memang mengurangi rutinitas yang bersentuhan langsung dengan dunia tulis-menulis. Dulu banget, waktu masih kuliah sampe pas selesai kuliah, masa transisi sebelum kerja a.k.a pengangguran, aku tuh paling suka ikut event-event nulis. Biasanya setiap malam apa gitu, aku udah lupa sih jadwalnya sekarang, aku suka ikutan puisi malam di akun twitter-nya nulis buku.

Kalo nggak salah itu mulainya pukul 23:00-00:00, biasanya admin nulisbuku bakal ngasih satu kata kunci buat dijadiin puisi dengan hastag #puisimalam. Saking niatnya, aku tuh biasanya tidur dulu mulai dari habis salat isya, terus paket data sengaja aku matiin dan alarm udah aku setel sesuai jadwalnya. Soalnya, aku pernah kesel banget gegara ketiduran pas nyetel alarm lebih cepet 15 menit dari acaranya dimulai. Padahal niatnya supaya ada persiapan dulu, supaya otak bisa mikir buat ngeluarin kata-kata pamungkas malem itu, tapi nyatanya aku ketiduran, pas bangun udah subuh aja.

Entah kenapa aku dulu bisa sebegitu menyesalnya kalo ketinggalan tuh puisi malam, berasa kayak kehilangan satu kesempatan emas buat mengasah kemampuanku. Apalagi pas pagi-pagi itu liat di timeline twitter kalo banyak puisi yang bagus-bagus itu di-retweet sama admin nulisbuku, rasanya gondok pisan euy. Nah, dari puisi malam inilah aku banyak kenal penulis-penulis berbakat Indoesia, penulis pemula kayak aku. Biasanya dimulai dari mereka me-retweet puisi-puisiku yang di­-retweet sama nulisbuku, lalu saling balas dan akhirnya saling kasih link blog sampe sharing soal kepenulisan.

Aku inget banget waktu itu sampe bikin grup gitu, kalo nggak salah isinya kami bertiga itu satunya namanya Siska, dia lebih muda dari aku, dia kuliah jurnalis kalo nggak salah. Satunya lagi Umay, dia orang Medan dan suka nulis juga, aku lupa dia jurusan apa kemarin, kami seumuran. Nah karena waktu itu ada lomba menulis yang hadiahnya tiket liburan ke Bali, jadilah kami pada ikut, akhirnya yang menang itu kalo nggak salah penulis dari Sulawesi atau Kalimantan. Setelah saling kontak-kontakan, mention-mention-an, dia juga kami masukin di grup dan sekarang entah ke mana dia.

Selain itu, aku juga suka ikutan lomba FF2in1, Flash Fiction Two in One. FF2in1 itu adalah satu acara yang juga dibuat sama nulisbuku, di mana admin bakal melempar dua lagu yang dibagi dua sesi, masing-masing 30 menit. Misalnya, di sesi pertama si admin ngasih lagunya Sheila on Seven yang judulnya Anugerah Terindah atau lagu-lagu Barat, nah bagi siapapun yang mau ikutan harus nulis di blog masing-masing, tulisan dengan maksimal karakter sebanyak 500 kata kalo nggak salah, itu setiap Rabu malam jam 19:00.

Bagi siapa yang menang, berhak buat milih satu buku yang ada di web nulisbuku, gratis. Sumpah itu bikin penasaran banget, setiap ikut FF2in1 itu rasanya deg-degan. Beneran. Baru sepuluh menit aja udah banyak banget yang ikutan dan pemenang yang diambil cuma satu, sampai pada akhirnya waktu itu aku pernah ikutan dan menang, dapet buku deh. Itu juga rasanya yang ikutan sepi, keliatan banget kalo saingan beratnya lagi pada nggak ada jadinya aku menang haha.

Ya gitulah pokoknya, sampe sekarang pun aku berterima kasih sama nulisbuku yang udah mau menjadi wadah bagi penulis-penulis pemula seperti kami untuk belajar terus, untuk lebih mencintai bahasa, untuk lebih banyak berkomunikasi dengan seluruh penulis berbakat di Indonesia yang mungkin belum berkesempatan untuk bisa memajang karya mereka di toko buku ternama.
Nah, balik lagi ke pertanyaan di atas, kenapa nggak pernah nulis lagi?

Gimana ya jawabnya, aku juga sebenernya bingung mau jawab pertanyaan itu. Kalo dibilang nggak pernah lagi sih enggak, aku masih nulis sampe 2015 akhir kalo nggak salah. Jadi sebenernya itu lebih karena keadaan sih, di mana aku harus fokus dengan karirku, maksudnya dengan pekerjaanku. Dulu banget, waktu masih menggebu-gebu soal nulis sampe aku nerbitin novel di saat aku juga lagi sibuk-sibuknya kuliah, rasanya aku tuh hidup banget dengan duniaku, menulis. Sampe pada waktu itu aku udah mulai kerja di awal 2015, udah mulai susah bagi waktu.

Waktu masih nganggur di rumah, aku bisa bebas ngerjain tulisanku sampe jam berapapun. Nah ini juga yang udah hilang dari aku, mungkin bakal aku bahas di tulisan khusus lainnya. Tentang semangat yang dulu ada, sampe aku punya kepinginan bukuku ada di Gramedia dan jadi best seller, kemudian difilmkan dan filmnya juga laku keras.

Tapi makin ke sini, tiba-tiba dan memang aku orangnya overthingking gitu kan. Semua hal kecil pun dipikirin, makanya suka sakit kepala gegara kayak gituan. Aku tuh mikir aja, aku tuh pengin punya buku yang menginspirasi, buku yang bermanfaat, nggak cuma sekedar nulis dan laku di pasaran terus dompetku tebel dan bisa beli ini itu.

Ini tuh lebih dari beban moral, bagi aku nulis itu dampaknya luar biasa. Ketika tulisanku disukai banyak orang, kemudian mereka mempedomani isinya, di sanalah amal jariyahku dicatat. Ketika isinya benar-benar bisa menjadi manfaat dan berisi kebaikan, tentulah itu berbalik positif juga kan buat aku. Nah, sementara selama ini tulisanku itu biasanya sesuai dengan tema-tema yang udah ditentuin sama panitia lomba-lomba menulis, yang notabene-nya itu nggak jauh-jauh dari soal “percintaan”.

Entahlah, yang ada di kepalaku itu adalah, aku nggak mau menebar pemikiran yang salah sama pembaca-pembaca tulisanku. Maka dari itu, ada sih beberap lagi draft naskah tulisanku yang pernah aku ikutsertakan dalam lomba nulis itu sampe sekarang aku simpen aja file-nya. Kok gitu? Ya itu tadi aku nggak mau tulisanku malah membawa banyak hal negatif. Misal nih, bukan maksud buat men-judge penulis-penulis lain ya. Misalnya aku nulis novel soal cinta-cintaan yang isinya tentang cara-cara mempertahankan hubungan LDR, katakanlah memang sesuai, bisa diterapkan. Tapi apakah dibenarkan aku ngasih saran-saran yang begituan, ngajarin anak muda Indonesia buat pacaran dan lain-lain.


Ya gitulah pokoknya, aku tuh pengin kalo tulisanku itu benar-benar ada manfaatnya. Kemarin sempet nulis soal perjuangan seorang guru buat ngajar di sekolah terpencil gitu, itu udah dari tahun 2014 kalo nggak salah sih nulisnya, tapi sampe sekarang belum juga terbit karena belum punya waktu merevisi. Ya, mudah-mudahan nanti bisa balik lagi semangat nulisnya seperti dulu, juga isinya bener-bener bisa dijadiin pedoman buat siapapun yang ngebaca.