Wednesday 1 March 2017

MENAHAN DIRI



Topik seputar pernikahan agaknya membuat gadis itu kesulitan tidur beberapa waktu belakangan. Di tengah pendidikan yang mengharuskan dia jauh dari orangtua dan kekasihnya, dia juga harus memikirkan bagaimana masa depannya kelak. Bagaimana jika dia dan kekasihnya berada di kota yang berbeda? Bagaimana dengan rencana mereka untuk menikah? Dan bagaimana nasib anak-anak mereka kelak?

Salahkah jika dia  memikirkan hal yang demikian saat ini? Atau terlalu dini untuk memikirkan hal itu? Dia selalu mencoba untuk menahan diri, untuk tidak membebankan kekasihnya dengan topik seputar pernikahan jika mereka bertemu atau sekadar mengobrol via telepon. Dia takut jikalau segala kelu dan keinginannya untuk membangun biduk rumah tangga itu membuat kekasihnya resah.

Dia tahu persis apa yang tengah mereka jalani saat ini, tentang apakah mereka akan menikah dalam waktu dekat, tentang apakah mereka akan bisa segera mewujudkan segala mimpi bersama. Baginya, hal tersulit dalam hubungan mereka bukanlah tentang bagaimana cara mengumpulkan uang sebanyaknya supaya bisa menyegerakan, tapi tentang menahan segala rindu yang selalu berhasil menyesakkan dada hingga pedih terasa.

Dia juga tahu persis kalau mereka belum punya tabungan yang cukup untuk menikah dalam waktu dekat, dia juga tahu persis dia tidak mungkin membebankan kekasihnya untuk segala hal itu, dia juga tahu kalau mereka belum bisa menikah dalam waktu dekat karena banyak hal itu.

Tapi, dia selalu yakin dan percaya kalau segala niat baik itu akan dimudahkan jalannya. Entah dengan mereka didekatkan atau hal lainnya. Dia yakin, selama dia tidak memberatkan kekasihnya dengan banyak pinta, tentulah impian indah itu akan segera terlaksana.

Kau tahu, dia kerap menahan rindu ketika ingat kekasihnya tengah lelah dalam tugasnya. Menyeka air mata tatkala melihat teman sebaya sudah menikah dan bahkan hampir punya anak lebih dulu dari mereka. Bukan iri, tidak. Dia tidak iri sama sekali, hanya saja dia merasa kalau temannya lebih beruntung karena sudah diizinkan untuk menghalalkan segala tingkah laku yang tadinya haram untuk dilakukan. Hanya itu.

Saat ini, tak ada yang bisa dia lakukan selain menyemangati kekasihnya dengan kalimat: “Udah jangan dipikirin, niat baik pasti ada jalannya” yang sebenarnya adalah penyemangat untuk dirinya sendiri. Sebab, dia tahu, dia tidak mungkin memaksa kekasihnya untuk menikahinya besok sementara keadaan tidak memungkinkan. 

Tak ada yang bisa dia lakukan selain menahan diri untuk tidak memaksa kekasihnya, dia mencintai kekasihnya. Tidak ada hal yang bisa memberinya opsi untuk meninggalkan kekasihnya. Laki-laki lain yang lebih mapan? Tentulah bukan menjadi takaran, jika dia mau bisa saja, sejak lama dia pergi bersama laki-laki lain yang kaya materi tapi miskin hati. Atau laki-laki yang lebih taat? Bagaimana bisa, jika dirinya saja masih jauh dari taat. Terkecuali, jika kelak suatu saat kekasihnya berubah pikiran di tengah perjalanan. Kekasihnya memutuskan untuk tidak bersamanya lagi untuk kedua kalinya, dia sudah berjanji untuk dirinya sendiri dan kebahagiaan kekasihnya, dia tidak akan menahnnya lagi, meski rasa cinta dan kasih sayangnya tak berubah seujung kuku pun. Karena hakikat mencintai sesungguhnya adalah melepaskan.
Dia hanya bisa berharap dan berdoa semoga Tuhan segera mengabulkan.