Thursday 22 December 2016

TENTANG PENERIMAAN



Lampu kamarnya sudah lama dipadamkan, sengaja. Ia menatap layar ponselnya sejak sore, beberapa kali memeriksa chat di BBM, juga Whatsapp. Entahlah, perasaannya mulai terganggu sejak semalam. Sejak dia tiba-tiba melihat display picture Whatsapp kekasihnya sudah tidak ada lagi wajahnya. Sepele memang, tapi entahlah, dia mendadak kalut. Tidak mood seharian. Sudah sejak lama dia mencoba menepis perasaannya yang demikian, tapi selalu gagal. Padahal cuma foto. 

Badannya sudah merebah sejak tadi, dia ngantuk berat, tapi enggan menutup mata. Dia masih menunggu kekasihnya yang belum juga tiba di rumah sejak tadi pagi, bekerja seharian sampai malam. Dia memang begitu, sulit berdamai dengan perasaan kalau orang yang dia sayang belum memberi kabar. Badannya sudah bolak-balik diempas ke kanan-kiri, tapi tetap saja hatinya gamang. Tidak lama, kekasihnya memberi kabar. Dia sudah tiba di rumah. Tidak mau kekasihnya kelelahan, dia pun mengajak untuk menyudahi obrolan, meski pertambahan umurnya tinggal berjarak dua setengah jam lagi. Biarlah, kekasihnya pasti lelah. Dia mencintainya.

Entah karena efek minum kopi tadi siang atau karena memang menunggu pergantian tanggal malam ini, dia terbangun beberapa kali. Sudah dipastikan kantung matanya bertambah besar. Beberapa kali ponsel yang diletakkan di sebelah bantal disentuh, layarnya diusap beberapa kali. Biasanya dia menonaktifkan paket data supaya tidak ada yang mengganggunya tidur, tapi malam ini dia membiarkannya.

Dadanya bergemuruh seketika menatap toolbar atas pada ponselnya, pukul 23:47. Matanya begitu berat, ingin ditutup tapi tidak mau. Alih-alih supaya tidak mengantuk, dia membuka sosmed, di twitter sudah ada temannya yang mengucapkan selamat, tepat pukul 23:53. Dia menghela napas, yang dinantikan malam ini adalah deringan telepon dari kekasihnya, meski dia tahu kemungkinan itu sangat kecil. Kekasihnya baru saja pulang kerja, memastikan mesin pesawat dalam keadaan baik dan layak terbang untuk penumpang.

Kekasihnya adalah teknisi pesawat di luar kota, dia harus bisa menyesuaikan keadaan, apalagi dengan shift-nya yang berubah-ubah. Satu hari masuk pagi, satu hari masuk malam. Tentulah jadwal mereka tidak akan sama, dia bekerja dengan jam kerja biasa, seperti layaknya pekerja lain. Keadaan ini harus membuatnya membiasakan diri, menahan rindu yang entahlah mengapa semakin hari semakin beranak pinak. 

Tepat pukul 00:00, dadanya semakin bergemuruh. Berharap ponselnya berbunyi. Tapi, setelah dua menit menunggu hanya ada dentingan notifikasi BBM yang masuk. Dia tersenyum lebar, tentulah kekasihnya akan menjadi orang pertama yang mengucapkan selamat untuknya. Benda canggih itu bergeser ke icon berwarna hitam dengan tujuh titik berwarna putih. Mendadak senyum itu memudar, ucapan selamat pertama kali malah datang dari orang lain, yang baginya tidak begitu penting.

Dia masih berharap, mungkin saja sinyal di kota kekasihnya sedang buruk, sehingga pesan yang dikirim tepat pukul 00:00 bisa jadi masuk ke ponselnya tiga puluh detik lebih lama. Dia menunggu dengan membuka sosmed yang lain, siapa tahu tiba-tiba foto di Whatsapp kekasihnya diganti dengan fotonya, tapi tidak. Atau di instagram? Bisa jadi kekasihnya mendadak romantis dengan tidak mengucapkan selamat, tapi langsung meng-upload fotonya di sana. Buru-buru dia mengecek, tapi tidak ada juga. Dia menghela napas panjang, sudah tidak ada lagi sosmed yang harus dipastikan.

Selang beberapa menit, tepat pada pukul 00:19, ucapan yang ditunggu-tunggu pun akhirnya masuk. Satu pesan singkat di BBM masuk. Kali ini benar dari kekasihnya.

“Happy birthday sayangku.”

Cuma itu. Tidak ada yang lain. Dadanya mendadak ngilu, entahlah, yang ada di kepalanya saat ini hanyalah tentang kekasihnya. Mengapa kekasihnya tidak antusias, atau memang dia sendiri yang berlebihan? Ini hanya soal pertambahan umur, bukan hal spesial yang harus dipersiapkan secara matang bukan? Tentulah kalau kekasihnya hanya mengucapkan itu. Napasnya kembali menghela panjang. Dia tahu jarak sudah memastikan kalau sebuah perayaan kecil yang spesial tidak akan terjadi, atau satu buket bunga dan kue kecil, atau kumpulan teman-temannya yang diajak untuk memberi kejutan. Tidak semuanya. 

Kekasihnya bukan seperti kekasih-kekasih orang lain. Kekasihnya sudah tidak bisa romantis lagi seperti dulu. Dia memang kurang beruntung, tidak menemukan kekasihnya saat dulu, saat masih bisa berlaku romantis pada orang lain. Kekasihnya yang sekarang tidak begitu. Dia terlalu sibuk untuk hanya sekadar memikirkan tentang hal spesial apa yang harus dilakukan untuk hanya merayakan pertambahan usianya. Sudah bukan waktunya lagi, tapi bukan itu, bukan kado, kue, atau bunga yang dia tunggu. Hanya telepon. Itu saja. Mendadak pipinya menghangat, setitik air sudah mengalir. Kepalanya ditekan kuat-kuat di atas bantal, supaya tidak ada yang mendengar isakannya.

****

Pagi itu, dia kembali mendapati satu pesan dari kekasihnya, yang isinya adalah doa yang terlambat diucapkan semalam, ketiduran katanya.
"Ciye yang hari ini ulang tahun, kamu mau apa?"
"Mau apa ya? Diucapin aja udah, tapi kalau dipasang foto juga boleh."
"Oh, tenang, tunggu dipasang dulu, ya."
Dan tidak lama dari itu, fotonya pun terpasang pada kontak kekasihnya, hanya saja foto itu sudah diedit seperti meme lucu-lucuan dan statusnya diganti menjadi "habede nyonya kecil". Kekasihnya tidak bisa romantis, katanya.

Sudahlah, dia sudah tidak begitu mempermasalahkan, hari ini masih panjang. Masih banyak kemungkinan, bisa jadi kekasihnya diam-diam pulang, seperti waktu itu.
“Yang, kirim alamat kantor kamu, ya.”
“Buat apa?” Dia bertanya dengan dahi mengkerut. Kekasihnya ada perlu apa?
“Ya mau tahu aja, emang nggak boleh?”
“Ah, kamu mau ngirim apaan? Suka nggak ngomong, ih.”
“Mau ngirim ini ke kamu ...”
Dan saat itu kekasihnya mengirimkan lokasinya saat itu via BBM. Ternyata dia pulang, sebelumnya dia bilang kalau dia tidak bisa pulang sampai waktu yang belum diketahui.
“Sebenarnya mau ngasih tahu kamu pas udah depan kantor kamu aja, kejutan, tapi sayangnya nggak bisa bohongi kamu lama-lama.” 

Dan benar saja, besoknya kekasihnya menjemputnya di kantor. Itu terjadi bulan lalu, maka bisa dipastikan bulan ini kekasihnya tidak akan pulang. Bisa saja, tapi mereka harus rela tidak menabung kalau sampai kekasihnya beneran pulang bulan ini.

Setibanya di kantor, sudah banyak ucapan selamat yang dia terima, pesan dari teman-teman, telepon, bahkan satu buket bunga dia terima. Saat itu, dia mendapat kue dari rekan sekantornya selepas makan siang. Makan-makan, foto-foto, seru-seruan, dan satu buket bunga yang dikirim via gojek juga ikut memeriahkan pertambahan usianya. 

Wajahnya tersenyum, tapi tidak demikian dengan hatinya, semeriah apapun perayaan hari itu tetaplah biasa saja tanpa satu hal spesial dari kekasihnya, telepon. Tapi, seharian kekasihnya malah sibuk mengurus temannya yang tiba-tiba harus diopname di rumah sakit, sebagai teman satu kosan yang baik, kekasihnya harus rela menghabiskan seharian waktunya untuk itu. Dia kembali menghela napas panjang, ingin marah, kecewa, tapi tidak bisa. Dia bukan lagi anak kecil. Dia tetap tidak bisa marah pada kekasihnya itu, paling cuma ngambek sebentar.

Malam itu kekasihnya pun harus kembali menunaikan tugas dan dia harus rela menghabiskan waktu sendirian lagi. Begitulah pertambahan usia yang dia lewatkan tahun ini, tidak beda jauh dengan tahun kemarin, hanya saja tahun kemarin kekasihnya pulang sehari setelah pertambahan usianya. Sama, tidak ada hal spesial, bahkan di hari dia memutuskan untuk merayakannya bersama temannya, kekasihnya pergi dengan temannya juga. Dia hanya menyempatkan sedikit waktu untuk menghampiri, menyalaminya untuk mengucapkan selamat. Itu saja.

Dia sudah berusia dua puluh tiga tahun dan sudah selayaknya untuk bisa menjalani yang namanya penerimaan dalam hidup. Menerima bahwa kekasihnya sudah tidak bisa lagi romantis, menerima bahwa kekasihnya sibuk, menerima bahwa egoisme tidak akan membuat semuanya lebih baik, menerima bahwa rindunya harus kembali ditahan, menerima bahwa di sana kekasihnya sedang berjuang, dan tidak ada hal yang lebih penting dari sebuah perjuangan demi masa depan. Dia mencintai kekasihnya. Sangat.

Monday 12 December 2016

TENTANG KEBERSAMAAN



Ngomong-ngomong soal kebersamaan, nggak terasa udah masuk tahun kedua kami sama-sama. Berawal dari komitmen untuk menuju ke arah yang lebih serius, sampailah hingga detik ini masih berjalan bersama menuju tujuan yang sama. Beberapa hari lalu aku baru aja selasai baca novel Dilan, dari hasil ngebaca itu ada banyak banget pelajaran, salah satunya yang paling penting adalah komunikasi. Kalu kita udah memutuskan untuk bersama dan sama-sama nggak mau kehilangan, aku pikir komunikasi adalah modal dan senjata paling utama dalam hubungan.

Tentu saja hubungan kami nggak adem ayem aja, udah beberapa kali ada hal-hal yang ngebuat kami semakin berpikir dewasa. Pernah punya masalah dan salah satu hampir mau nyerah, tapi kalau sudah berkomitmen untuk sama-sama dan saling takut kehilangan, maka sebanyak apapun masalah tetap tidak akan terpikir walau sejenak untuk meninggalkan. Aku selalu bilang begitu ke dia, aku nggak bakal ninggalin dia, dan aku minta dia pun seperti itu. Udah nggak ada lagi yang mesti dicari. 

Entahlah, kalau mau cari yang sukses dan mapan bisa aja, yang udah punya semuanya, tapi buat apa? Aku butuh dia yang mau berjuang bersama dan nggak bakal ninggalin aku apapun kondisinya. Dia memang bukan orang yang punya segalanya, rumah, mobil mewah, tapi dia punya kesederhanaan, hangat, dan kasih sayang. Kalau mau ditukar sama yang lain yang lebih-lebih dari dia, aku nggak mau milih. Aku udah stop di dia, dan semoga Allah menjodohkan.

Aku belajar banyak hal, banyak sekali. Aku menyayanginya sebagaimana aku juga menyayangi keluarganya. Meski kami belum bisa menikah dalam waktu dekat, aku terus berdoa semoga Allah memudahkan rezeki kami untuk menyegerakan, tentu saja dengan tidak hanya tinggal diam. Aku pun tengah berusaha mewujudkan.