Sunday 9 February 2014

Bercengkrama dengan Tuhan di Sepertiga Malam


Aku sudah lama belajar Bahasa Indonesia, bahkan aku sudah pandai mengeja namamu lalu menuliskannya di setiap lembar diary yang memotret kisah hidupku. Membawamu di setiap percakapanku dengan teman curhat terbaikku. Kamu, selalu jadi topik terhangat di setiap bahasan yang kami kupas tuntas di setiap sepertiga malam. Aku sengaja membuat jadwal rutin saat orang lain sibuk bercengkerama dengan orang terkasih lewat dunia mimpi. Iseng sih, tapi iseng yang sudah direncanakan. Karena kamu.

Aku tak berniat membicarakanmu dari belakang, hanya saja aku terlalu pengecut untuk mengucap rangkaian kalimat yang biasa kami diskusikan di sela perbincangan.Aku takut kehilanganmu ketika kamu tahu tentang rasaku.Membicarakan semua tentang kamu, tentang kita. Mulai dari kedekatan kita yang dimulai beberapa tahun lalu, saat kita masih memakai seragam abu-abu. Saat itu tubuhmu tak setegap ini, tulang rahangmu masih terlihat begitu tirus di kala itu. Di saat pandanganmu mulai tertuju pada sosok yang membuatmu luluh.
Ketika itu aku hanya sesosok biasa yang sama sekali tak kamu ingini. Tak seperti gadis berwajah ayu yang kini mengisi relung hatimu, hingga tak ada sedikitpun ruang kosong yang kamu sisakan untukku. Sedang aku? Bahkan semua ruang itu aku siapkan dengan matang untuk kamu isi di kemudian hari, nanti saat kamu membuka matamu. Ketika kamu sudah menyadari, bahwa Tuhan rela menyediakan waktunya untuk membicarakanmu dan mempertimbangkan pintaku, mejadikanmu pelabuhan terakhirku.

Aku bahkan rela membiarkan orang lain merobek hatiku hanya karena aku mencoba melupakanmu dengan kesalahan-kesalahan di masa lalu, semua karena kamu. Tapi ternyata, hatiku tak bisa berbohong. Meski banyak pelabuhan yang kusinggahi setelah melihatmu bersama gadismu, tetap saja hingga kini cuma kamu yang bersarang di benakku.

Aku sering membicarakanmu, membicarakan sosok lain yang mengisi ruang hatimu. Saat itu aku meminta supaya Tuhan menjagamu untukku, saat itulah aku menangis dalam pelukan-Nya. Aku mengadu pada-Nya tentang semua yang kamu lakukan padaku. Kamu pergi ketika kamu mengenyam rasa manis bersama sosok itu, tapi kamu kembali ketika tak ada lagi hal manis yang kamu temui pada wanita itu, dan ini terjadi berulang kali.

Bagaimana mungkin aku menolak kedatanganmu, meski hanya pelampiasan dari wanitamu? Aku ini mencintaimu, meski tak pernah sedikitpun kamu tahu atau bahkan tidak mau tahu. Aku siap menjaga rasa ini hingga nanti saatnya tiba, saat sebuah benda kecil berbentuk lingkaran kamu sematkan di jemari manisku, lalu kemudian kecupan hangat di keningku mengalir hangat ke sekujur tubuh mewakili isi hatimu. Itu doaku pada Tuhan di setiap sepertiga malamku. Yang tak pernah kamu tahu.

Wednesday 5 February 2014

Titik Nadir

Ruang ini semakin kosong.  Di sini, di bagian sebelah kiri dadaku.  Kau tahu kenapa? Ia kesakitan karena terlalu lama menyimpanmu di dalamnya.  Ia tak pernah menyesal menyimpanmu dalam-dalam di sana, tapi ia hanya sedikit lelah karena ruang itu semakin sempit, rapat, hingga membuatnya hampir tak bisa bernapas.  Kau mungkin tak bisa melihat bahkan merasanya, tapi kau bisa sedikit membuatnya bernapas lega hanya dengan sedikit perhatian yang kau punya.  Ruang ini tak begitu luas, kau tak bisa bergerak secara bebas.  Ke mana pun kau mencoba mencari jalan ke luar, tetap saja kau terperangkap di dalamnya.  Entahlah, hingga kini pun aku masih mencoba mencari di mana pintu itu berada, pintu yang bisa mengeluarkanmu dari dalamnya lalu aku bisa bernapas lega.

Tapi... sepertinya napasku akan semakin tercekat bahkan kehilangan nyawa jika benar kau menemukan pintu itu lalu ke luar, pergi meninggalkannya dan tak pernah kembali lagi. Jangan!  Jangan pergi, tetaplah di sini hingga ruang itu semakin sempit tak berjarak.  Biar kutahan rasa sakitnya hingga berdarah-darah karena aku tak bisa memilikimu seutuhnya.  Kau sudah mengisi penuh relung hati di seberang sana, aku tak mau kau terjebak lebih lama di sana.  Aku ingin kau tetap berada di sini, memenuhi ruang kecil milikku hingga aku tak mampu lagi menahannya dan membiarkanmu beristirahat di dalamnya karena terlalu lelah mencari jalan ke luar.

Tidak.  Tidak mungkin aku sejahat itu, mempertahankan keegoisan demi kebahagiaan semu untukku.  Tenang, aku hanya memintamu untuk singgah sejenak.  Setidaknya hingga luka lebam ini sudah tertutupi oleh sedikit balutan perhatianmu.  Luka lebam yang kudapat dari ia yang tak pernah mengerti arti tulus mencintai.  Sedikit titik berbekas dengan tetes darah merah di atasnya yang sudah mulai mengering ketika kau masuk di ruang kecil itu.  Aku tak akan memaksamu untuk terus berada di dalamnya hingga membuatmu tak mampu bernapas lega.

Aku ini mencintaimu, sungguh takkan kubiarkan rasaku mencambukmu dengan angkuh.  Aku hanya ingin melihatmu tanpa luka di sekujur tubuh bekas tusukan wanitamu terdahulu.  Biar, biar saja ini berjalan dengan kuasanya sang waktu hingga nanti aku harus melepasmu di titik nadir rasa yang tak mungkin pernah luruh.  Saat mata mulai terutup, mengutip banyak kata tentang aku dan kamu.