Saturday, 14 March 2015

HIJRAH



Napas ini kuhela dengan ribuan partikel kecil di dalamnya. Ada banyak neuron dalam urat saraf yang melekati dinding kepala. Berisi jutaan opini yang menggerus isi aslinya. Pun tentang pandangan manusia tentang hubungan dua manusia yang biasa disebut “pacaran”. 

Entahlah, di zaman yang mulai kukenal dengan tingkat sekulerisme makin tinggi ini aku mulai waswas. Remaja seperti takut jika tidak punya seseorang yang mereka sebut “pacar” itu, pun yang dewasa.

Aku bingung menyebutnya, sebuah budaya atau memang moral anak bangsa? Sesuatu yang lebih terdengar seperti tren itu bak sebuah kewajiban di mata mereka. Bahkan kita lupa, sujud yang lima pun sudah bukan lagi perkara dosa. Ibadah sudah dianggap hal biasa. Ini kedengarannya menggurui, sok alim. Tapi pernahkah terpikir dalam benak kalian semua, duhai anak muda, bisakah kalian rincikan tujuan utama dalam pacaran?

Kalimatku di atas tidak lantas mengatakan kalau aku tidak pernah memiliki hubungan seperti kalian. Tiga tahun lalu, aku pun berada dalam garis yang disebut pacaran. Tidak lama, hanya dalam hitungan bulan. Di dalamnya, aku gamang, hampir terseret arus buta oleh cinta. Untunglah, Tuhan segera menarikku keluar. Hingga aku berpikir secara matang, aku punya dua pilihan: melanjutkan berada dalam koridor ini atau keluar tanpa pernah kembali lagi?

Aku memilih yang kedua, tapi itu tidak mudah. Hijrah; bergeser dari satu pemahaman ke pemahaman baru itu butuh perjuangan. Melawan rasa takut: takut tidak bisa bahagia, takut dibilang tidak laku, takut dibilang kampungan, takut susah dapat jodoh, dan ketakutan-ketakutan lainnya.

Tidakkah kalian tahu, perlu banyak kekuatan untuk bertahan di jalan yang kaupilih demi kebaikan. Terlebih, tidak semua orang memilih jalan yang kaupilih sekarang. Menjadi minoritas di antara remaja-remaja yang tengah sibuk mencari jati diri. Memamerkan pasangan yang cantik dan tampan rupawan. Menyebarkan kemesraan di berbagai akun jejaring sosial. Aku paham soal itu, ada rasa bangga menyelimut ruang dada. Itu sudah pasti.

Mungkin hanya orang-orang kolokan sepertiku saja yang mau bertahan dengan ideologi sendiri. Jadi anak rumahan. Pergi ke luar pun kadang-kadang. Berbeda jauh dengan mereka yang punya pacar, ke mana-mana ada yang menemani. Tidak mungkin kesepian.

Berdiam diri dalam jalur ini selama tiga tahun bukan tanpa alasan. Aku baru sadar penuh kenapa Ayah melarangku untuk memiliki hubungan lebih dengan laki-laki. Belakangan ini aku paham, bahwa kebahagiaan hakiki itu bukan didapat dari pacaran. Aku pun sudah pernah merasa, pedihnya dicampakkan karena cinta buta yang tidak kupaham. 

Diam ini bukan karen tidak mau jatuh lagi. Diam ini hanya sebagai bentuk hijrah menuju perbaikan diri. Mengagumi dia-yang-entah-sekarang-jadi-milik-siapa dalam hati. Merapalkan namanya dalam setiap sujud setiap hari. Memperbaiki kualitas diri dengan segudang prestasi.

Aku pernah mencoba untuk jatuh lagi, pada dia yang terlanjur menepi di lain hati. Dia yang kini sudah menemui tambatan hati. Pada jiwa yang enggan membaginya lagi. Biarkan saja, bagiku, cinta hakiki itu bukan soal berdua dalam ikatan yang belum resmi. Kutitip dia, siapa saja yang kini membuat dada ini terasa nyeri karena merindu dalam hati, pada pemilik rasa ini.

Sepi ini tak pernah nyata, jika kulahap habis merindunya dalam doa. Diam-diam menelusurinya dalam maya. Merindunya dalam untaian kata-kata. Cukup saja aku dan Tuhan yang menyimpan semuanya. Hingga kelak di penghujung jalan sana, ada pintu yang terbuka untukku dan dia yang tengah kuperjuangkan dalam hijrah.

Kalaupun kelak aku berkubang kembali dalam jalur yang disebut “pacaran”, aku hanya berdoa dalam tiap sujud malam. Izinkan dia menjadi yang terakhir, Tuhan.

3 comments:

  1. Semoga segera menemukan pelabuhan yang terakhir ya mbak :)) Doaku menyertaimu

    ReplyDelete
  2. Ikuti apa yang elah direncanakan Tuhan saja :)

    ReplyDelete
  3. Amiin ya robbal alamiin. Iya. Biarkan Tuhan yang memberi jalan :)

    ReplyDelete