Napas
ini kuhela dengan ribuan partikel kecil di dalamnya. Ada banyak neuron dalam
urat saraf yang melekati dinding kepala. Berisi jutaan opini yang menggerus isi
aslinya. Pun tentang pandangan manusia tentang hubungan dua manusia yang biasa
disebut “pacaran”.
Entahlah, di zaman yang mulai kukenal dengan tingkat
sekulerisme makin tinggi ini aku mulai waswas. Remaja seperti takut jika tidak
punya seseorang yang mereka sebut “pacar” itu, pun yang dewasa.
Aku
bingung menyebutnya, sebuah budaya atau memang moral anak bangsa? Sesuatu yang
lebih terdengar seperti tren itu bak sebuah kewajiban di mata mereka. Bahkan
kita lupa, sujud yang lima pun sudah bukan lagi perkara dosa. Ibadah sudah
dianggap hal biasa. Ini kedengarannya menggurui, sok alim. Tapi pernahkah
terpikir dalam benak kalian semua, duhai anak muda, bisakah kalian rincikan
tujuan utama dalam pacaran?
Kalimatku
di atas tidak lantas mengatakan kalau aku tidak pernah memiliki hubungan seperti
kalian. Tiga tahun lalu, aku pun berada dalam garis yang disebut pacaran. Tidak
lama, hanya dalam hitungan bulan. Di dalamnya, aku gamang, hampir terseret arus
buta oleh cinta. Untunglah, Tuhan segera menarikku keluar. Hingga aku berpikir
secara matang, aku punya dua pilihan: melanjutkan berada dalam koridor ini atau
keluar tanpa pernah kembali lagi?
Aku
memilih yang kedua, tapi itu tidak mudah. Hijrah; bergeser dari satu pemahaman
ke pemahaman baru itu butuh perjuangan. Melawan rasa takut: takut tidak bisa
bahagia, takut dibilang tidak laku, takut dibilang kampungan, takut susah dapat
jodoh, dan ketakutan-ketakutan lainnya.
Tidakkah
kalian tahu, perlu banyak kekuatan untuk bertahan di jalan yang kaupilih demi
kebaikan. Terlebih, tidak semua orang memilih jalan yang kaupilih sekarang.
Menjadi minoritas di antara remaja-remaja yang tengah sibuk mencari jati diri.
Memamerkan pasangan yang cantik dan tampan rupawan. Menyebarkan kemesraan di
berbagai akun jejaring sosial. Aku paham soal itu, ada rasa bangga menyelimut
ruang dada. Itu sudah pasti.
Mungkin
hanya orang-orang kolokan sepertiku saja yang mau bertahan dengan ideologi
sendiri. Jadi anak rumahan. Pergi ke luar pun kadang-kadang. Berbeda jauh
dengan mereka yang punya pacar, ke mana-mana ada yang menemani. Tidak mungkin
kesepian.
Berdiam
diri dalam jalur ini selama tiga tahun bukan tanpa alasan. Aku baru sadar penuh
kenapa Ayah melarangku untuk memiliki hubungan lebih dengan laki-laki.
Belakangan ini aku paham, bahwa kebahagiaan hakiki itu bukan didapat dari
pacaran. Aku pun sudah pernah merasa, pedihnya dicampakkan karena cinta buta
yang tidak kupaham.
Diam
ini bukan karen tidak mau jatuh lagi. Diam ini hanya sebagai bentuk hijrah
menuju perbaikan diri. Mengagumi dia-yang-entah-sekarang-jadi-milik-siapa dalam
hati. Merapalkan namanya dalam setiap sujud setiap hari. Memperbaiki kualitas
diri dengan segudang prestasi.
Aku
pernah mencoba untuk jatuh lagi, pada dia yang terlanjur menepi di lain hati.
Dia yang kini sudah menemui tambatan hati. Pada jiwa yang enggan membaginya
lagi. Biarkan saja, bagiku, cinta hakiki itu bukan soal berdua dalam ikatan
yang belum resmi. Kutitip dia, siapa saja yang kini membuat dada ini terasa
nyeri karena merindu dalam hati, pada pemilik rasa ini.
Sepi
ini tak pernah nyata, jika kulahap habis merindunya dalam doa. Diam-diam
menelusurinya dalam maya. Merindunya dalam untaian kata-kata. Cukup saja aku
dan Tuhan yang menyimpan semuanya. Hingga kelak di penghujung jalan sana, ada
pintu yang terbuka untukku dan dia yang tengah kuperjuangkan dalam hijrah.
Kalaupun
kelak aku berkubang kembali dalam jalur yang disebut “pacaran”, aku hanya
berdoa dalam tiap sujud malam. Izinkan dia menjadi yang terakhir, Tuhan.