26 Maret 2017
Seperti biasa, gadis itu selalu
terlihat repot setiap kali jadwal kunjungan tiba. Sudah dari semalam, bahkan
dua minggu yang lalu dia menunggu. Iya, jadwal itu memang akan datang dua
minggu sekali. Tidak ada persiapan khusus, hanya saja dia selalu ingin
menampilkan yang terbaik, meski dia tahu tidak ada yang berubah dari dirinya. Di
Minggu kali ini, kekasihnya kembali datang, berjuang menembus macet dan lelah
bekas bekerja seharian. Rela berlelah menggandul tangan di atas kaitan besi
dalam gerbong panas berisi banyak penumpang. Iya, begitulah rute yang harus
ditempuh kekasihnya dari kosan menuju tempat gadis itu menempuh pendidikan
sekarang. Ditambah lagi harus naik gojek supaya bisa masuk ke kawasan Resort di sana.
Siang itu panas terik, dia
seperti enggan keluar kamar kalau bukan karena kekasihnya akan datang. Minggu
ini tempat makan siswa prajabatan mereka dipindahkan ke Saung Besi, tempat
makan yang letaknya lebih jauh dari kamar tinggalnya. Makan siang kali itu
dilewati dengan harap-harap cemas, sebab beberapa kali dia mengecek ponsel,
bahkan menelpon, kekasihnya belum juga ada kabar. Sampai pada penutupan doa
makan, sebuah pesan masuk ke Whatsapp-nya
yang isinya dari kekasihnya. Laki-laki yang selalu terlihat gagah di matanya
itu ternyata sudah tiba, dia menunggu di tempat makan biasnya, di hall Leonie.
Hari itu, kebetulan ada tamu lain
di Resort itu yang mengharuskan
mereka mencari tempat lain untuk bertemu. Gadis itu segera saja mendahului
temannya yang masih duduk santai di meja makan supaya bisa segera bertatap muka
dengan kekasihnya. Dari kejauhan, tampaklah gagahnya bergerak mendekat dari
arah berlawanan. Dia sudah bisa memastikan kalau itu adalah kekasihnya. Dia
memakai kaos berwarna abu-abu tua, celana jin, dan memakai tas punggung
berwarna hitam. Wajahnya nampak lelah. Segera saja gadis itu menghampirinya, di
belakangnya sudah banyak suara-suara sumbang yang bilang “ciyee” ketika dua
pasang mata itu beradu dan melempar senyum masing-masing.
“Tadi aku nunggu di tempat
biasa.”
“Oh, iya. Di sana ada acara, jadi
kita gak bisa duduk di sana. Kamu mau solat dulu? Di belakang ada mushola, tapi
jauh.”
Mereka berjalan beriringan.
“Iya, kami solat di sana aja.”
Laki-laki itu bergerak menuju rumah kayu yang berada di sisi kiri.
“Yakin, kayaknya gak bisa dipake
lagi deh,” gadis itu menyela.
“waktu itu kami solat di sana.”
Gadis itu mengangguk, “Ya udah
kalo gitu, kami solat di kamar dulu ya. Sekalian mau ambil laptop.”
***
Sepanjang perjalanan menuju
kamar, senyum gadis itu begitu rekah, meski dia sadar penuh kalau penampilannya
sungguh di luar harapan, siang itu begitu terik, wajahnya tentulah gosong
ditimpa sinar matahari. Urunglah sudah memberi tampilan terbaik yang hanya bisa
dia lakukan dua minggu sekali itu. Setibanya di kamar, dia segera menarik tas,
memasukkan laptop, menyemprotkan minyak wangi di baju, juga merapikan sedikit
tampilannya.
Riwehnya bertambah lagi ketika satu
pesan masuk dari kekasihnya, dia bilang kalau rumah kayu itu tidak bisa dipakai
solat. Gadis itu mengembuskan napas, bergegas memasukkan mukenah ke dalam tas,
saking repotnya dia, jam tangannya pun sampai lepas. Masa bodohlah, yang
penting kekasihnya tidak merasa kesal karena lama menunggu.
Dia bergegas menapaki anak tangga
resort, kamarnya berada di lantai
kedua di sisi kiri dan paling ujung. Mereka bertemu di depan hall, dengan masing-masing tas
menggantug di pundak. Saling melempar senyuman. Tidakkah kalian tahu, senyuman
itu yang selalu dia nantikan. Seolah melihat masa depan di sana, masa depan
yang sederhana namun membahagiakan. Senyuman yang selalu berusaha mengatakan
bahwa semuanya akan baik-baik saja.
“Kan, udah aku bilang tadi. Ya
udah, kita solat di belakang aja, tapi jauh banget. Musholanya dekat gerbang
keluar, dekat kelasku.” Gadis itu bersungut, mencoba mensejajari kekasihnya.
“Ya udah, gak apa-apa jauh, bisa
jalan-jalan,” laki-laki itu kembali menyulut senyum.
Kaki-kaki itu menapaki aspal yang
ditutupi rindangnya pepohonan di kanan-kiri, melewati rumah kayu, lapangan
basket, rumah tinggal bagi siswa dan tamu lain, melewati banyak kelokan.
Sesekali gadis itu mengeluh panas lalu menyeka keringat.
“Uh, panas. Jauh lagi, setiap
hari kami kayak gini. Kelasku jauh, mana bawaan berat lagi.”
Laki-laki itu menarik lembut
tangan gadis itu, membawanya ke tepi. “Minggir sini, ada mobil.”
Gadis itu kini berada sedikit lebih
di depan, kembali menyeka wajah, dengan tisu menempeli sisi-sisi jilbabnya
dengan harapan wajahnya tidak begitu gosong.
“Udah, gak apa-apa panas, jauh,
sekalian ngurusin badan. Biar sehat juga,” celetuk kekasihnya. Dia selalu
mengucap ringan, tidak pernah mau ambil pusing soal hal yang seperti itu.
Dia selalu bilang: “Udah, nanti
juga putih lagi.” Atau “Udah, nanti juga jerawatnya ilang.”
Kekasihnya selalu membuatnya
nampak sempurna tanpa harus bersusah payah tampil luar biasa untuknya. Hal
itulah yang membuat gadis itu merasa diterima apa adanya, sebab dia tahu,
dirinya pun biasa saja. Tapi tidak dengan kekasihnya, dia selalu mengatakan
bahwa kekasihnya tampan. Tidak peduli banyak laki-laki lain yang mungkin lebih trendy dibanding kekasihnya. Yang dia tahu,
ketampanan kekasihnya berasal dari hatinya yang tulus dan kesederhanaannya yang
begitu menenangkan. Wajar saja kalau gadis itu betah menatapinya tanpa harus
banyak kata yang mewakilinya.
Bersambung....
No comments:
Post a Comment