Monday, 24 April 2017

REALISTIS


Semakin ke sini aku semakin paham, bahwa setiap apapun yang direncanakan sesuai dengan keinginan tidak akan selalu berjalan dalam satu garis lurus. Dilema ini makin menjadi ketika banyak ketidakpastian dalam hidup. Sebenarnya sah-sah saja kalau dalam hidup ini banyak tanya yang tidak ada atau belum ada jawabnya dalam waktu dekat, tapi yang menjadi masalah adalah apakah kita mampu bertahan dalam banyak terkaan dalam kepala tentang jawaban itu sendiri?

Egois, ialah salah satu sifat dasar manusia yang tentulah sudah mengakar sejak lahir, yang tidak bisa dihilangkan sampai ke angka nol. Kita tentulah akan mendahulukan kebahagiaan diri sendiri baru orang lain, juga keinginan sendiri baru keinginan orang lain. Hal yang demikian adalah lumrah adanya.

Di saat ada keinginan yang kita pun sebenarnya tidak memaksakan, yang sebetulnya kita sendiri mencari tahu apa yang harus dilakukan dalam kondisi demikian, salah satunya menikah. Entahlah, sepertinya hal itu menjadi momok besar dalam kepala banyak wanita, atau mungkin aku saja?

Aku tidak iri dengan mereka yang bisa menikah lebih dulu dengan segala macam hal, perayaan, dan sebagainya yang sesuai bahkan melebihi ekspektasi mereka. Yang menjadi momok besar dalam kepalaku saat ini adalah: salahkah aku?

Apakah aku terlalu menuntut? Aku bingung, tidak tahu harus mengambil keputusan yang seperti apa, di satu sisi aku ingin disegerakan, di satu sisi aku tidak tega. Aku tahu persisi posisi itu, posisi yang begitu berat, melibatkan banyak hal yang menjadi ujung tombak dalam kebahagiaan: keluarga dan orang terkasih.

Mengapa wanita punya target usia untuk menikah? Aku pribadi hanya ingin menghindari fitnah, karena sejatinya rasa cinta itu sulit sekali untuk dikendalkan, hanya ada dua kemungkinan: bisa menjadi kebaikan atau malah membawa dalam jurang yang menyesatkan. Tapi di satu sisi, pria  tentulah punya alasan tersendiri dengan targetnya, mereka  harus membalas budi kedua orangtuanya, membahagiakan mereka, tidak mengecewakan.

Di saat orangtuanya mengatakan bahwa mereka haruslah siap secara lahir batin dan finansial, di saat itulah posisi pria menjadi begitu rumit. Di satu sisi mereka harus menyegerakan, supaya si wanita tidak terlalu lama menunggu untuk menghindari fintah, tapi di satu sisi mereka harus mengutamkan keluarga lebih dulu. Lantas apa yang bisa dilakukan oleh wanita selain menunggu dan bersabar? Kurasa tidak ada.

Sulit, ini begitu sulit. Ketika ada dua kepala ingin menyatu, namun keadaan mengharuskan mereka untuk berpikir keras, di saat itulah kesabaran dan keikhlasan diuji. Di saat itulah bahagia mungkin tak selalu berupa hal yang diinginkan segera terjadi.

Allahurabbi, kuatkan hati kami.

Tuesday, 11 April 2017

MINGGU SORE DI KINASIH

26 Maret 2017

Seperti biasa, gadis itu selalu terlihat repot setiap kali jadwal kunjungan tiba. Sudah dari semalam, bahkan dua minggu yang lalu dia menunggu. Iya, jadwal itu memang akan datang dua minggu sekali. Tidak ada persiapan khusus, hanya saja dia selalu ingin menampilkan yang terbaik, meski dia tahu tidak ada yang berubah dari dirinya. Di Minggu kali ini, kekasihnya kembali datang, berjuang menembus macet dan lelah bekas bekerja seharian. Rela berlelah menggandul tangan di atas kaitan besi dalam gerbong panas berisi banyak penumpang. Iya, begitulah rute yang harus ditempuh kekasihnya dari kosan menuju tempat gadis itu menempuh pendidikan sekarang. Ditambah lagi harus naik gojek supaya bisa masuk ke kawasan Resort di sana.

Siang itu panas terik, dia seperti enggan keluar kamar kalau bukan karena kekasihnya akan datang. Minggu ini tempat makan siswa prajabatan mereka dipindahkan ke Saung Besi, tempat makan yang letaknya lebih jauh dari kamar tinggalnya. Makan siang kali itu dilewati dengan harap-harap cemas, sebab beberapa kali dia mengecek ponsel, bahkan menelpon, kekasihnya belum juga ada kabar. Sampai pada penutupan doa makan, sebuah pesan masuk ke Whatsapp-nya yang isinya dari kekasihnya. Laki-laki yang selalu terlihat gagah di matanya itu ternyata sudah tiba, dia menunggu di tempat makan biasnya, di hall Leonie.

Hari itu, kebetulan ada tamu lain di Resort itu yang mengharuskan mereka mencari tempat lain untuk bertemu. Gadis itu segera saja mendahului temannya yang masih duduk santai di meja makan supaya bisa segera bertatap muka dengan kekasihnya. Dari kejauhan, tampaklah gagahnya bergerak mendekat dari arah berlawanan. Dia sudah bisa memastikan kalau itu adalah kekasihnya. Dia memakai kaos berwarna abu-abu tua, celana jin, dan memakai tas punggung berwarna hitam. Wajahnya nampak lelah. Segera saja gadis itu menghampirinya, di belakangnya sudah banyak suara-suara sumbang yang bilang “ciyee” ketika dua pasang mata itu beradu dan melempar senyum masing-masing.

“Tadi aku nunggu di tempat biasa.”
“Oh, iya. Di sana ada acara, jadi kita gak bisa duduk di sana. Kamu mau solat dulu? Di belakang ada mushola, tapi jauh.”
Mereka berjalan beriringan.
“Iya, kami solat di sana aja.” Laki-laki itu bergerak menuju rumah kayu yang berada di sisi kiri.
“Yakin, kayaknya gak bisa dipake lagi deh,” gadis itu menyela.
“waktu itu kami solat di sana.”
Gadis itu mengangguk, “Ya udah kalo gitu, kami solat di kamar dulu ya. Sekalian mau ambil laptop.”

***

Sepanjang perjalanan menuju kamar, senyum gadis itu begitu rekah, meski dia sadar penuh kalau penampilannya sungguh di luar harapan, siang itu begitu terik, wajahnya tentulah gosong ditimpa sinar matahari. Urunglah sudah memberi tampilan terbaik yang hanya bisa dia lakukan dua minggu sekali itu. Setibanya di kamar, dia segera menarik tas, memasukkan laptop, menyemprotkan minyak wangi di baju, juga merapikan sedikit tampilannya.
Riwehnya bertambah lagi ketika satu pesan masuk dari kekasihnya, dia bilang kalau rumah kayu itu tidak bisa dipakai solat. Gadis itu mengembuskan napas, bergegas memasukkan mukenah ke dalam tas, saking repotnya dia, jam tangannya pun sampai lepas. Masa bodohlah, yang penting kekasihnya tidak merasa kesal karena lama menunggu.

Dia bergegas menapaki anak tangga resort, kamarnya berada di lantai kedua di sisi kiri dan paling ujung. Mereka bertemu di depan hall, dengan masing-masing tas menggantug di pundak. Saling melempar senyuman. Tidakkah kalian tahu, senyuman itu yang selalu dia nantikan. Seolah melihat masa depan di sana, masa depan yang sederhana namun membahagiakan. Senyuman yang selalu berusaha mengatakan bahwa semuanya akan baik-baik saja.

“Kan, udah aku bilang tadi. Ya udah, kita solat di belakang aja, tapi jauh banget. Musholanya dekat gerbang keluar, dekat kelasku.” Gadis itu bersungut, mencoba mensejajari kekasihnya.
“Ya udah, gak apa-apa jauh, bisa jalan-jalan,” laki-laki itu kembali menyulut senyum.

Kaki-kaki itu menapaki aspal yang ditutupi rindangnya pepohonan di kanan-kiri, melewati rumah kayu, lapangan basket, rumah tinggal bagi siswa dan tamu lain, melewati banyak kelokan. Sesekali gadis itu mengeluh panas lalu menyeka keringat.

“Uh, panas. Jauh lagi, setiap hari kami kayak gini. Kelasku jauh, mana bawaan berat lagi.”
Laki-laki itu menarik lembut tangan gadis itu, membawanya ke tepi. “Minggir sini, ada mobil.”
Gadis itu kini berada sedikit lebih di depan, kembali menyeka wajah, dengan tisu menempeli sisi-sisi jilbabnya dengan harapan wajahnya tidak begitu gosong.

“Udah, gak apa-apa panas, jauh, sekalian ngurusin badan. Biar sehat juga,” celetuk kekasihnya. Dia selalu mengucap ringan, tidak pernah mau ambil pusing soal hal yang seperti itu.
Dia selalu bilang: “Udah, nanti juga putih lagi.” Atau “Udah, nanti juga jerawatnya ilang.”

Kekasihnya selalu membuatnya nampak sempurna tanpa harus bersusah payah tampil luar biasa untuknya. Hal itulah yang membuat gadis itu merasa diterima apa adanya, sebab dia tahu, dirinya pun biasa saja. Tapi tidak dengan kekasihnya, dia selalu mengatakan bahwa kekasihnya tampan. Tidak peduli banyak laki-laki lain yang mungkin lebih trendy dibanding kekasihnya. Yang dia tahu, ketampanan kekasihnya berasal dari hatinya yang tulus dan kesederhanaannya yang begitu menenangkan. Wajar saja kalau gadis itu betah menatapinya tanpa harus banyak kata yang mewakilinya.

Bersambung....