Semakin ke sini aku semakin
paham, bahwa setiap apapun yang direncanakan sesuai dengan keinginan tidak akan
selalu berjalan dalam satu garis lurus. Dilema ini makin menjadi ketika banyak
ketidakpastian dalam hidup. Sebenarnya sah-sah saja kalau dalam hidup ini
banyak tanya yang tidak ada atau belum ada jawabnya dalam waktu dekat, tapi
yang menjadi masalah adalah apakah kita mampu bertahan dalam banyak terkaan
dalam kepala tentang jawaban itu sendiri?
Egois, ialah salah satu sifat dasar
manusia yang tentulah sudah mengakar sejak lahir, yang tidak bisa dihilangkan
sampai ke angka nol. Kita tentulah akan mendahulukan kebahagiaan diri sendiri
baru orang lain, juga keinginan sendiri baru keinginan orang lain. Hal yang
demikian adalah lumrah adanya.
Di saat ada keinginan yang kita
pun sebenarnya tidak memaksakan, yang sebetulnya kita sendiri mencari tahu apa
yang harus dilakukan dalam kondisi demikian, salah satunya menikah. Entahlah,
sepertinya hal itu menjadi momok besar dalam kepala banyak wanita, atau mungkin
aku saja?
Aku tidak iri dengan mereka yang
bisa menikah lebih dulu dengan segala macam hal, perayaan, dan sebagainya yang
sesuai bahkan melebihi ekspektasi mereka. Yang menjadi momok besar dalam kepalaku
saat ini adalah: salahkah aku?
Apakah aku terlalu menuntut? Aku
bingung, tidak tahu harus mengambil keputusan yang seperti apa, di satu sisi
aku ingin disegerakan, di satu sisi aku tidak tega. Aku tahu persisi posisi
itu, posisi yang begitu berat, melibatkan banyak hal yang menjadi ujung tombak
dalam kebahagiaan: keluarga dan orang terkasih.
Mengapa wanita punya target usia
untuk menikah? Aku pribadi hanya ingin menghindari fitnah, karena sejatinya
rasa cinta itu sulit sekali untuk dikendalkan, hanya ada dua kemungkinan: bisa
menjadi kebaikan atau malah membawa dalam jurang yang menyesatkan. Tapi di satu
sisi, pria tentulah punya alasan
tersendiri dengan targetnya, mereka
harus membalas budi kedua orangtuanya, membahagiakan mereka, tidak mengecewakan.
Di saat orangtuanya mengatakan
bahwa mereka haruslah siap secara lahir batin dan finansial, di saat itulah
posisi pria menjadi begitu rumit. Di satu sisi mereka harus menyegerakan,
supaya si wanita tidak terlalu lama menunggu untuk menghindari fintah, tapi di
satu sisi mereka harus mengutamkan keluarga lebih dulu. Lantas apa yang bisa
dilakukan oleh wanita selain menunggu dan bersabar? Kurasa tidak ada.
Sulit, ini begitu sulit. Ketika
ada dua kepala ingin menyatu, namun keadaan mengharuskan mereka untuk berpikir
keras, di saat itulah kesabaran dan keikhlasan diuji. Di saat itulah bahagia
mungkin tak selalu berupa hal yang diinginkan segera terjadi.
Allahurabbi, kuatkan hati kami.