Hari ini, 19 Januari 2017 aku
resmi terhitung sebagai pengangguran setelah mengajukan surat resign tanggal 4 Januari 2017 lalu, yang
meminta tanggal 18 Januari 2017 adalah hari terakhir bekerja. Kenapa resign? Alhamdulillah, doa-doaku
terdahulu sudah diijabah Allah SWT. Tanggal 4 Februari nanti aku dan
teman-teman satu angkatan D3 Palembang PLN angkatan 57 akan berangkat menuju
Lembang, Bandung, untuk mengikuti pelatihan kesamaptaan.
Aku lulus dari kampusku tercinta,
Politeknik Negeri Sriwijaya Palembang jurusan Administrasi Bisnis pada 31
Agustus 2014 lalu. Sebelumnya, waktu
masih semester pertama sampai ke semester 4, obsesiku masih ingin bekerja di
bank, sampai ada satu Dosen waktu itu membuat video kami sekelas buat
kenang-kenangan, katanya. Waktu itu aku bilang mau jadi Customer Service bank Mandiri dan buka butik, pada diaminin
temen-temen. Entahlah, waktu itu aku tertarik banget jadi CS bank. Menurutku,
selain cantik dan pintar, pegawai bank dengan pakaian seragam rapi itu terlihat
lebih berkelas. Kenapa malah ikutan tes BUMN?
Jadi, waktu itu aku dan
teman-temenku semakin naik semester semakin mikirin masa depan. Banyaklah
cerita tentang berbagai macam pekerjaan, termasuklah pekerja bank yang kerjanya
suka lemburan, terus segala macamnya. Sampai waktu itu, kalo gak salah sehabis
kakak tingkat dua tahun di atas kami wisuda, Dosenku cerita kalau salah satu
dari mereka lulus di PJKA dan bank Sumsel Babel, kemudian tahun selanjutnya
pada banyak yang lulus PLN, waktu itu masih sekitar angkatan ke 41-42 dan
banyak kakak tingkatku yang satu organisasi di HMJ Adm. Bisnis yang lulus di
sana.
Ditambah lagi teman dekatku,
Windy, dia tiba-tiba ngabarin lulus di PJKA waktu semester 5, waktu kami lagi
sibuk-sibuknya nyusun laporan magang. Terjadilah tukar pikiran dengan temanku
yang lain, yang pada akhirnya terbitlah satu pemikiran baru dalam kepalaku. Aku
mau kerja di BUMN beberapa tahun buat ngumpulin modal biar bisa buka butik,
kemudian resign dan jadi ibu rumah
tangga yang full ngurusin suami dan
anak-anakku. Aku sudah se-visioner itu. Memang sejak kecil otakku didesain
untuk berpikiran jauh ke depan kayaknya. Sejak SMA aku malah udah bikin list prestasi dan tujuan hidup, salah
satunya nikah di umur 25, dan ayahku tahu soal itu. Aku satu-satunya anak
mereka yang kalau udah punya keinginan, gak bakal gentar walau diterjang ombang
sekalipun. Huehehe
Sampailah waktu itu sebelum kami
wisuda, ternyata PT PUSRI membuka rekrutmen, aku ingat banget waktu itu hampir
semua anak dari seluruh jurusan seangkatanku mau daftar. Waktu itu kami cuma
pegang surat keterangan lulus dan khs dari semester awal dan ternyata boleh digunakan
sebagai pengganti ijazah dan transkrip nilai. Aku dan temen-temen berjuang
seharian nungguin legalisasi khs karena besoknya hari terakhir pendaftaran.
Aku ingat betul waktu itu, di
tahap Administrasi yang lulus untuk masuk ke tahap Aptitude itu cuma 31 orang
dari jurusanku. Di tahap kedua yang lulus cuma sekitar 19 orang, yaitu (TOEFL).
Tahap selanjutnya, psikotes dan wawancara psikotes tinggal 16 orang. Masuk ke
tahap kesehatan sisa 12 orang sampai ke wawancara. Dan dari 12 orang itu cuma
lulus 3 orang.
Itu perjuangan pertamaku,
perjuangan yang sekaligus pembelajaran besar, bahwa sabar dan ikhlas itu
sungguh sangat sulit. Bayangin, waktu itu baru selesai wisuda udah nyampe tahap
akhir tes BUMN yang tentulah banyak orang mau masuk ke sana dan aku gagal di
tahap terakhir, mana waktu itu beneran belum masukin lamaran ke mana pun.
Sampai pada akhirnya aku masukin lamaran ke perusahaan Developer, properti
rumah mewah di Palembang dan diterima sebagai Sekretaris Direktur selama 6
bulan dan dapat promosi jadi Asisten Manajer Keuangan, yang Manajer Keuangannya
itu adik kandung owner. Tepat 1
tahun, 11 bulan, 7 hari terhitung sejak 11 Februari 2015 lalu aku menjadi
karyawan di sana. Banyak sekali pembelajaran selama kurang lebih 2 tahun itu
sampai pada akhirnya aku lulus di PLN setelah 2 kali gagal. Untuk kisah lulus
di PLN ini bakal aku tulis di sesi berikutnya, khusus hehe.
Jadi, sebenarnya kalau mau bilang
jujur, siapa sih yang mau jauh dari orangtua. Iya, kan? Tapi kalau semua demi
kebaikan orangtua dan saudara itu gak masalah. Kita yang tadinya merasa gak
kuat akan dikuatkan Allah, aku yakin itu. Seperti kata ayahku, “kalau orang
lain bisa, kenapa kita tidak?”
Kalau temen-temenku yang udah duluan
merantau bisa baik-baik saja, tentulah aku akan bisa seperti mereka. Aku bisa
dikategorikan anak manja, sejak kecil apa-apa diurus ayah. Antar jemput dan
sebagainya. Dan sekarang, tibalah waktunya semua itu berkahir. Aku harus jadi
anak yang mandiri.
Aku punya sedikit cerita tentang
mencoba mandiri beberapa hari yang lalu. Sudah sejak lama aku berniat buat main
ke rumah Demang, rumahnya calon mertua hehehe. Biasanya kalau mau main ke sana
aku nunggu anaknya pulang dulu, makmlumlah dia udah jadi anak rantauan duluan. Tapi
minggu lalu aku berani ke sana sendirian. Aku gak pernah pergi sendirian sejauh
itu, selain dulu pulang dari kampus kalau gak dijemput ayah.
Malemnya aku udah bilang sama si
dia (ceile si dia wkwk) mau ke rumahnya besoknya, karena katanya ibunya udah
nanya kapan aku mau main ke sana lagi. Jadilah aklu download aplikasi gojek. Awalnya udah ragu duluan, beneran gak
berani naik gojek karena temenku pernah dibawa minggat mamang gojek waktu
kuliah dulu. Waktu nanya dia kalau naik angkot ke sana kayak gimana, dia juga
kayaknya rada gak ngeh, sebentar bilang naik bus aja, sebentar bilang naik
angkot. Hih.
Besoknya, niatku udah bulat.
Setelah selesai beli sepatu sama mukenah buat keperluan kesamaptaan, aku nelpon
dia dan bilang fix mau main ke Demang naik gojek. Jadilah aku pesen gojek
dengan spot jantung yang gak karuan, selama di jalan aku banyak baca doa semoga
gak diculik. Padahal gak bakalan tuh gojek mau nyulik kalau tahu porsi makanku
sebanyak apa wkwk. Dan finally aku
tiba di sana dengan selamat.
Gak kerasa hampir tiga jam
ngobrol sama ayah ibu soal mau berangkat, soal anak mereka yang suka nelepon
buat nanyain bumbu masakan. Semua diobrolin, sampailah pada topik ayah nanya: “kan
dia belum penempatan juga, gimana kalau nanti dia dapat di Papua, kamu di
Jakarta. Bisa gak PLN ini mutasi?”
Kujawablah seadanya: “Kabarnya
sih bisa, yah, setelah sekitar 5 tahun. Kalau memang mau nikah mending ngurusin
mutasi dulu, kalau udah acc baru nikah. Biar enak.”
Lah, udah bahas yang gituan aja.
Si ibu juga nambahin: “semogalah kamu dapet di Jakarta ya, biar bisa deket sama
dia.”
Aamiiiiiiiiiiiiin. Semogalah
doa-doa dari ayah dan ibu kami bisa menjadi penguat jalan kami anak rantauan
ini demi masa depan rumah tangga dan keluarga huehehe.
Aamiin. Terima kasih
ReplyDelete