Tuesday, 10 February 2015

NIKMAT MANA LAGI YANG KAU DUSTAKAN? (EPISODE I)




Siapa bilang fase tersulit bagi mahasiswa adalah ketika bertatap muka dengan tugas akhir? Itu belum seberapa dengan fase setelahnya. Mengutip kata Dosen Humas saya sewaktu kuliah: “Kalian mungkin malas kuliah karena banyak tugas, tapi apa kalian sudah punya bekal setelah tamat? Coba pejamkan mata, bayangkan kalau besok kalian sudah berstatus alumni, apa yang akan kalian lakukan? Sudah punya modal untuk membuka usaha, atau hanya berdiam diri di rumah?”

Kalimat itu membuat siapa saja yang sekarang tengah tidur lelap dalam kemalasan menyelesaikan pendidikan menjadi cepat-cepat bangun, belajar lebih tekun, bersiap lebih banyak. Bayangkan, detik keesokan hari ketika membuka mata kita disadarkan dengan status “pengangguran.” Hanya tiga dari sepuluh yang beruntung, yang mungkin bisa langsung berjodoh dengan pekerjaan yang diidamkan orang banyak.

Saya pun termasuk sepuluh itu. Sebelum bercerita tentang nikmat baik yang diberikan Allah pada saya kemarin dan hari ini, saya akan berkilas balik dulu mengenai perjalanan selama enam kali tiga puluh hari ini.

Saya adalah seorang mahasiswa dengan deretan mimpi yang mengular. Semuanya tertulis jelas di atas kertas yang tertempel di dinding kamar. Di sana ada tiga nama perusahaan milik negara yang saya tulis jelas, dengan embel-embel “Belajar psikotes dan Bahasa Inggris kalau ingin lulus BUMN!” Tulisan itu sudah bertengger di sana jauh sejak tugas akhir dirintis, berikut mimpi-mimpi yang sudah menderet panjang itu bahkan jauh-jauh hari sebelum menginjak semester akhir.

Semua mimpi itu terlihat nyata ketika masih berstatus mahasiswa, namun setelah sidang berakhir, semua nampak remang-remang. Ke mana kaki akan melangkah? Akankah deretan mimpi itu menjelma nyata? Kepala pun dipenuhi ribuan tanya lainnya.

Beberapa hari setelah hasil sidang keluar dan saya dinyatakan satu dari banyak mahasiswa yang lulus, tiba-tiba sebuah pengumuman mengejutkan menyebar luas. Perusahaan pertama yang menjadi target saya akan segera melakukan rekrutmen untuk karyawan baru. Tepat! Posisi waktu itu semua mahasiswa cemas karena persyaratan administrasinya mencakup ijazah atau transkrip nilai dengan cap basah. Sementara kami baru menerima Surat Keterangan Lulus saja. Lantas bagaimana? Deadline pendaftaran pun sudah di depan mata. Tentu saja ada ratusan mahasiswa yang ingin mendaftar. 

Nasib baik, ternyata ijazah dan transkrip bisa digantikan dengan SKL dan KHS selama enam semester. Bagian Administrasi kampus sudah padat mahasiswa yang ingin meminta legalisasi KHS untuk memenuhi persyaratan rekrutmen, termasuk saya dan teman saya. Saya sedikit lega karena proses pendaftaran online sudah saya bereskan sebelumnya. Namun, deadline pengiriman berkas tinggal hari Senin mendatang, sedangkan legalisasi KHS baru bisa diambil sehari setelah pengiriman berkas ditutup. Singkat cerita, setelah melewati banyak perjuangan dengan mulut terus menggumam doa: Ya Allah kalau ini memang jalanku, mudahkanlah jalannya. Dan alhamdulillah berkas terkirim H-1 penutupan.

Proses rekrutmen pun berjalan lancar, dari ribuan peserta yang mendaftar, khususnya pada jurusan saya hanya tersisa 31 orang pada tahap pertama, yaitu seleksi administrasi. Isinya kebanyakan teman-teman saya dan kakak tingkat yang sudah menjadi alumni. Saya pun hanya berdua dengan teman kelas saya yang menjadi perwakilan yang terpilih.

Lanjut tahap ke-dua alhamdulillah saya pun berhasil, dengan sisa peserta 16 orang. Tahap ke-tiga dengan sisa 12 orang sampai tahap interview akhir. Herannya, sejak tahap awal hingga psikotes saya punya tingkat kepercayaan diri yang tinggi. Saya yakin saya pasti bisa, tidak lepas dari doa dan ibadah tentunya. Tapi entah kenapa, ketika menginjak tes kesehatan saya mulai cemas, bukan apa-apa, karena hasil tes diundur menjadi satu minggu lebih lama. Alhamdulillah saya pun lulus, hingga menyisakan dua hari untuk persiapan interview akhir sebanyak 12 orang. Saya akui, tahap ini adalah tahap yang paling kurang persiapan, karena saya kurang yakin. Banyak rumor yang beredar kalau tidak punya relasi, tahap ini akan sulit. Saya tidak mempermasalahkan itu, saya yakin, apa pun yang sudah ditakdirkan untuk saya tidak akan jadi milik orang lain.

Sepanjang minggu-minggu menunggu hasil pengumuman akhir entah mengapa saya kurang yakin, banyak pikiran yang bersarang di kepala, mulai dari Ibu yang sepertinya enggan untuk melepas saya kalau sampai saya ditempatkan di luar kota, sampai pada kecemasan yang kurang cukup mendasar: “Bagaimana kalau saya lulus, terus saya ditempatkan di luar kota? Terus kerjanya sibuk, saya susah buat nulis lagi?” Mungkin bagi sebagian orang terdengar konyol, tapi itulah gelisah yang menderu dada waktu itu. Firasat pun benar, saya tidak lulus. Sedih? Tidak usah ditanya, tapi saya seperti biasa saja menanggapinya, meski akhirnya air mata tumpah juga di belakang mereka yang juga kecewa mendengar berita itu.

Enam bulan mencoba move on, lempar lamaran ke sana-sini, mulai dari mendaftar online sampai kirim ke kantor pos. Soal naskah saya? Tentu saja tidak terabaikan, selain melempar surat lamaran, saya juga melempar naskah ke penerbit. Sebab mimpi saya menggantung tinggi di sana. Berjuang bersama teman itu tidak akan selamanya, buktinya, satu dari dua orang teman yang juga berjuang bersama saya berhasil lolos pada Badan Kepegawaian Negara minggu lalu. Hati makin risau. Cobaan Allah sungguh manis.

Sampai pada akhirnya kemarin, saya sudah punya janji untuk menemani teman saya yang punya hobi fotografi untuk membidik beberapa gambar di satu tempat yang sudah kami janjikan untuk bertemu. Kami berdua pergi naik angkutan umum. Jeprat-jepret kamera di sana-sini. Tahu-tahu ponsel saya berbunyi:
“Halo, dengan Mbak Yanti?”
“Iya, benar.”
“Kami dari PT ...... silakan datang ke kantor kami hari ini jam satu siang.”
Saya melongok. Ini sudah jam setengah dua belas dan saya masih di luar!
Saking gugupnya saya meracau tidak karuan. “Harus hari ini, Mbak?”
Disambut tawa dari ujung telepon. “Iya, hari ini. Kenapa?”
“Saya lagi di luar,” saya menjawab polos. Tidak memikirkan sama sekali kalau perusahaan sudah pasti masa bodoh soal itu.
“Tidak bisa, Mbak. Harus hari ini. Kami tunggu jam satu, ya. Jangan telat.” Nada itu ramah. Jelas saja, HRD perusahaan itu teman sekelas saya waktu kuliah. Tiga tahun bersama, bahkan sempat satu kelompok di banyak mata kuliah. Tapi ini soal pekerjaan. Profesionalitas!

Dengan terburu-buru, teman saya menyelesaikan bidikannya, mengajak saya langsung pulang saja, takut tidak terburu. Dengan langkah seribu, kaki pun menelusuri jalan menuju angkutan umum dengan perkiraan tiba di rumah jam dua belas lewat. Selama perjalanan ada gumam-gumam kecil, ”kenapa dia baru ngabarin sekarang?” 

Bukan apa-apa, di rumah pasti tidak ada yang mengantar. Ditambah lagi sedikit trauma gegara satu angkot dengan pencopet sepulang interview pertama minggu lalu. Teman saya memberi opsi untuk naik bus kota saja. Bus kota? Alamaaaak, sekali pun saya belum pernah naik bus kota sendirian! Ke mana-mana di antar Ayah, kalau pun harus naik angkutan umum, itu yang sudah biasa saya naiki, seperti dari rumah ke kampus atau sebaliknya.
Dalam keadaan perut yang masih kosong, saya menuruni angkutan umum itu kemudian berjalan besar-besar menuju rumah. Tepat jam dua belas lebih lima belas menit saya tiba. Langung saja menyambar kemeja, mengganti rok yang saya dengan rok hitam. Mengambil sepatu, lantas berbenah sebentar, selanjutnya menyalimi Ibu, lalu pamitan.

“Kamu naik apa?” Ibu cemas. Saya bahkan tidak tahu mau naik apa.
“Naik bus aja,” Ayukku menyahut.
“Nggak taulah!” Saya segera keluar rumah.
Pikiranku kosong, langsung naik angkutan umum yang menuju ke halte karena kalau ke pasar pasti makan waktu yang lama.
Setibanya di halte, tidak ada satu pun bus yang lewat. Ingin menanangis rasanya. Mag kambuh. Tiba-tiba punya ide pengin nebeng sama orang yang lewat, tapi kalau diculik gimana? Tambah gamang.



BILANG INI PADA NYOYAMU, TUAN.



Lembaran kertas tak jua berhasil suratkan lisanku yang tertahan sejak mengenalmu, Tuan.
Ribuan, jutaan, bahkan miliaran detik pun tak jua sempat ucapkannya, Tuan.
Ribuan kilometer jarak lebih lagi.

Tapi ada satu pembatas yang lebih sulit untuk membuatnya nyata, pembatas yang berdiri kokoh di tengah-tengah kita. Kau tahu apa itu, Tuan?
Jika kusebutkan lantang dalam kalimat-kalimat tegas yang selalu kuurai dalam lembar-lembar aksaraku, apakah kau lantas mau bilang itu padanya?

Kau masih belum tahu, Tuan? Pembatas itu berdiri lebih dekat ke arahmu, tepatnya menempeli setengah dari perjalanan hidupmu, bahkan mungkin semuanya.
Dia itu, Nyonyamu, Tuan. Raga yang kini selalu kau sempatkan untuk kau temui tatkala rindu menyemai di hati kalian. Ketika aku meringkuk gigil sendirian. 

Biarkan, biar ...

Biar saja nyatamu dilahap habis olehnya, Tuan. Hingga mungkin tak ada bekas satu titik saja yang dia sisakan untuk kupungut dari tumpahannya. Rindunya nyata, rindumu juga. Lalu bagaimana dengan rinduku, Tuan? Semuanya berserakan. Aku saja malas memungutnya. Semua wadah yang kupunya sudah terisi penuh olehnya, lebih-lebih banjir ke permukaan. Tapi kau tidak lihat, kan, Tuan? Tentu saja, aku pandai menguncinya dalam laci rahasia yang tak bisa kau jamah.

Sudahlah sudah, Tuan. Mulutku kelu untuk berucap. Bagaimana tidak, sisinya hampir menebal saking intensnya rindu itu kurapalkan. 

Bilamana pembatas itu mengubah segala cemasmu menjadi tenang, menggigit takutmu menjadi terang, menjelma rasaku menjadi bayang, cukup bilang ini pada Nyonyamu, Tuan: Jaga baik-baik kepingan-kepingan rindu yang kau susun untuknya, simpan pula rapat-rapat potongan hati yang kau bungkus untuknya. Jangan sampai lengah, nanti dia celaka. Sebab jika dia tidak pandai menjaganya, di sana, di sudut ruang yang tak jua terjamah, ada sebidang ruang luas yang siap mendekapnya lekat. Bidang itu, adalah aku.

Friday, 6 February 2015

RINDU TAK BERTUAN

Miliaran aksara sudah kurangkai menjadi banyak kisah yang hanya berobjek satu; yaitu kamu. Rindu ini terasa begitu pilu taktala tak bisa lagi kujamah senyummu, Tuan. Dalam jarak waktu yang kuberi nama jeda inilah aku menunggu. Mereka bilang menunggu itu membosankan, tapi bagiku, menunggu adalah caraku bertahan. Bertahan untuk menjamah sosokmu dalam nyataku, Tuan. 

Kau tak perlu tahu sesibuk apa aku dalam jeda ini, Tuan. Jawabannya cuma satu; yaitu merindumu.Tanpa kau ketahui, kau selalu bermain bebas dalam imajiku, membuatnya jengah hingga kusebut mereka sebagai kegilaan yang sengaja kubuat. Iya, aku menggilaimu, Tuan. Menggilai tiap sudut bibir yang melengkung sempurna itu. Menggilai tiap jengkal jarak yang mengasah rindu itu.

Aku tahu kau takkan pulang, Tuan. Jantungku bukanlah rumah segala rindumu. Napasku juga bukanlah biduk nyawamu. Kau takkan kunjung pulang ke peraduanku, sebab kau sudah menepi dan berhenti di satu titik yang kau sebut kenyamanan itu. 

Tidakkah aku berhenti merindumu? Tentu tidak, Tuan.

Jikalau aku tak jua menarik bagimu untuk berhenti, bahkan hanya sekadar singgah, cukuplah rindu ini berkamuflase menjadi bayang yang merengkuhmu dari jauh. Tak perlu sentuhan nyata untuk membungkus habis senyummu itu. Cukup kuukir saja lengkung sempurnanya dalam ingatanku.

Rindu ini tak bertuan, Tuan. Tak pula berceceran di jalan, dia utuh sepenuhnya hanya untuk engkau seorang. Meski kau tak pernah memberinya sebagai kado terindah, Tuan. Biarkan aku merapalnya setiap malam. Sebagai obat penawar yang tak jua tersembuhkan. Beruntunglah dia, Tuan. Nyonya dalam nyatamu itu, pemilik rindu sungguhan milikmu itu.

Jangan suruh aku berhenti, Tuan. Sebab belum kutemu ramu lain selain merindumu tanpa balas. Cukuplah kusemai dada ini dengan benih yang kusebut rindu tak bertuan.



Dengarkan puisinya di sini > MUSIKALISASI RINDU TAK BERTUAN