Siapa
bilang fase tersulit bagi mahasiswa adalah ketika bertatap muka dengan tugas
akhir? Itu belum seberapa dengan fase setelahnya. Mengutip kata Dosen Humas
saya sewaktu kuliah: “Kalian mungkin malas kuliah karena banyak tugas, tapi apa
kalian sudah punya bekal setelah tamat? Coba pejamkan mata, bayangkan kalau
besok kalian sudah berstatus alumni, apa yang akan kalian lakukan? Sudah punya
modal untuk membuka usaha, atau hanya berdiam diri di rumah?”
Kalimat
itu membuat siapa saja yang sekarang tengah tidur lelap dalam kemalasan
menyelesaikan pendidikan menjadi cepat-cepat bangun, belajar lebih tekun,
bersiap lebih banyak. Bayangkan, detik keesokan hari ketika membuka mata kita
disadarkan dengan status “pengangguran.” Hanya tiga dari sepuluh yang
beruntung, yang mungkin bisa langsung berjodoh dengan pekerjaan yang diidamkan
orang banyak.
Saya
pun termasuk sepuluh itu. Sebelum bercerita tentang nikmat baik yang diberikan
Allah pada saya kemarin dan hari ini, saya akan berkilas balik dulu mengenai
perjalanan selama enam kali tiga puluh hari ini.
Saya
adalah seorang mahasiswa dengan deretan mimpi yang mengular. Semuanya tertulis
jelas di atas kertas yang tertempel di dinding kamar. Di sana ada tiga nama
perusahaan milik negara yang saya tulis jelas, dengan embel-embel “Belajar
psikotes dan Bahasa Inggris kalau ingin lulus BUMN!” Tulisan itu sudah
bertengger di sana jauh sejak tugas akhir dirintis, berikut mimpi-mimpi yang
sudah menderet panjang itu bahkan jauh-jauh hari sebelum menginjak semester
akhir.
Semua
mimpi itu terlihat nyata ketika masih berstatus mahasiswa, namun setelah sidang
berakhir, semua nampak remang-remang. Ke mana kaki akan melangkah? Akankah
deretan mimpi itu menjelma nyata? Kepala pun dipenuhi ribuan tanya lainnya.
Beberapa
hari setelah hasil sidang keluar dan saya dinyatakan satu dari banyak mahasiswa
yang lulus, tiba-tiba sebuah pengumuman mengejutkan menyebar luas. Perusahaan
pertama yang menjadi target saya akan segera melakukan rekrutmen untuk karyawan
baru. Tepat! Posisi waktu itu semua mahasiswa cemas karena persyaratan
administrasinya mencakup ijazah atau transkrip nilai dengan cap basah.
Sementara kami baru menerima Surat Keterangan Lulus saja. Lantas bagaimana? Deadline pendaftaran pun sudah di depan
mata. Tentu saja ada ratusan mahasiswa yang ingin mendaftar.
Nasib
baik, ternyata ijazah dan transkrip bisa digantikan dengan SKL dan KHS selama
enam semester. Bagian Administrasi kampus sudah padat mahasiswa yang ingin
meminta legalisasi KHS untuk memenuhi persyaratan rekrutmen, termasuk saya dan
teman saya. Saya sedikit lega karena proses pendaftaran online sudah saya bereskan sebelumnya. Namun, deadline pengiriman berkas tinggal hari Senin mendatang, sedangkan
legalisasi KHS baru bisa diambil sehari setelah pengiriman berkas ditutup.
Singkat cerita, setelah melewati banyak perjuangan dengan mulut terus menggumam
doa: Ya Allah kalau ini memang jalanku, mudahkanlah jalannya. Dan alhamdulillah
berkas terkirim H-1 penutupan.
Proses
rekrutmen pun berjalan lancar, dari ribuan peserta yang mendaftar, khususnya
pada jurusan saya hanya tersisa 31 orang pada tahap pertama, yaitu seleksi
administrasi. Isinya kebanyakan teman-teman saya dan kakak tingkat yang sudah
menjadi alumni. Saya pun hanya berdua dengan teman kelas saya yang menjadi
perwakilan yang terpilih.
Lanjut
tahap ke-dua alhamdulillah saya pun berhasil, dengan sisa peserta 16 orang.
Tahap ke-tiga dengan sisa 12 orang sampai tahap interview akhir. Herannya, sejak tahap awal hingga psikotes saya
punya tingkat kepercayaan diri yang tinggi. Saya yakin saya pasti bisa, tidak
lepas dari doa dan ibadah tentunya. Tapi entah kenapa, ketika menginjak tes
kesehatan saya mulai cemas, bukan apa-apa, karena hasil tes diundur menjadi
satu minggu lebih lama. Alhamdulillah saya pun lulus, hingga menyisakan dua
hari untuk persiapan interview akhir
sebanyak 12 orang. Saya akui, tahap ini adalah tahap yang paling kurang
persiapan, karena saya kurang yakin. Banyak rumor yang beredar kalau tidak
punya relasi, tahap ini akan sulit. Saya tidak mempermasalahkan itu, saya
yakin, apa pun yang sudah ditakdirkan untuk saya tidak akan jadi milik orang
lain.
Sepanjang
minggu-minggu menunggu hasil pengumuman akhir entah mengapa saya kurang yakin,
banyak pikiran yang bersarang di kepala, mulai dari Ibu yang sepertinya enggan
untuk melepas saya kalau sampai saya ditempatkan di luar kota, sampai pada
kecemasan yang kurang cukup mendasar: “Bagaimana kalau saya lulus, terus saya
ditempatkan di luar kota? Terus kerjanya sibuk, saya susah buat nulis lagi?”
Mungkin bagi sebagian orang terdengar konyol, tapi itulah gelisah yang menderu
dada waktu itu. Firasat pun benar, saya tidak lulus. Sedih? Tidak usah ditanya,
tapi saya seperti biasa saja menanggapinya, meski akhirnya air mata tumpah juga
di belakang mereka yang juga kecewa mendengar berita itu.
Enam
bulan mencoba move on, lempar lamaran
ke sana-sini, mulai dari mendaftar online
sampai kirim ke kantor pos. Soal naskah saya? Tentu saja tidak terabaikan,
selain melempar surat lamaran, saya juga melempar naskah ke penerbit. Sebab
mimpi saya menggantung tinggi di sana. Berjuang bersama teman itu tidak akan
selamanya, buktinya, satu dari dua orang teman yang juga berjuang bersama saya
berhasil lolos pada Badan Kepegawaian Negara minggu lalu. Hati makin risau.
Cobaan Allah sungguh manis.
Sampai
pada akhirnya kemarin, saya sudah punya janji untuk menemani teman saya yang
punya hobi fotografi untuk membidik beberapa gambar di satu tempat yang sudah
kami janjikan untuk bertemu. Kami berdua pergi naik angkutan umum.
Jeprat-jepret kamera di sana-sini. Tahu-tahu ponsel saya berbunyi:
“Halo,
dengan Mbak Yanti?”
“Iya,
benar.”
“Kami
dari PT ...... silakan datang ke kantor kami hari ini jam satu siang.”
Saya
melongok. Ini sudah jam setengah dua belas dan saya masih di luar!
Saking
gugupnya saya meracau tidak karuan. “Harus hari ini, Mbak?”
Disambut
tawa dari ujung telepon. “Iya, hari ini. Kenapa?”
“Saya
lagi di luar,” saya menjawab polos. Tidak memikirkan sama sekali kalau
perusahaan sudah pasti masa bodoh soal itu.
“Tidak
bisa, Mbak. Harus hari ini. Kami tunggu jam satu, ya. Jangan telat.” Nada itu
ramah. Jelas saja, HRD perusahaan itu teman sekelas saya waktu kuliah. Tiga
tahun bersama, bahkan sempat satu kelompok di banyak mata kuliah. Tapi ini soal
pekerjaan. Profesionalitas!
Dengan
terburu-buru, teman saya menyelesaikan bidikannya, mengajak saya langsung pulang
saja, takut tidak terburu. Dengan langkah seribu, kaki pun menelusuri jalan
menuju angkutan umum dengan perkiraan tiba di rumah jam dua belas lewat. Selama
perjalanan ada gumam-gumam kecil, ”kenapa dia baru ngabarin sekarang?”
Bukan
apa-apa, di rumah pasti tidak ada yang mengantar. Ditambah lagi sedikit trauma
gegara satu angkot dengan pencopet sepulang interview
pertama minggu lalu. Teman saya memberi opsi untuk naik bus kota saja. Bus
kota? Alamaaaak, sekali pun saya belum pernah naik bus kota sendirian! Ke
mana-mana di antar Ayah, kalau pun harus naik angkutan umum, itu yang sudah
biasa saya naiki, seperti dari rumah ke kampus atau sebaliknya.
Dalam
keadaan perut yang masih kosong, saya menuruni angkutan umum itu kemudian
berjalan besar-besar menuju rumah. Tepat jam dua belas lebih lima belas menit saya
tiba. Langung saja menyambar kemeja, mengganti rok yang saya dengan rok hitam.
Mengambil sepatu, lantas berbenah sebentar, selanjutnya menyalimi Ibu, lalu
pamitan.
“Kamu
naik apa?” Ibu cemas. Saya bahkan tidak tahu mau naik apa.
“Naik
bus aja,” Ayukku menyahut.
“Nggak
taulah!” Saya segera keluar rumah.
Pikiranku
kosong, langsung naik angkutan umum yang menuju ke halte karena kalau ke pasar pasti
makan waktu yang lama.
Setibanya
di halte, tidak ada satu pun bus yang lewat. Ingin menanangis rasanya. Mag
kambuh. Tiba-tiba punya ide pengin nebeng sama orang yang lewat, tapi kalau
diculik gimana? Tambah gamang.