Wednesday, 5 February 2014

Titik Nadir

Ruang ini semakin kosong.  Di sini, di bagian sebelah kiri dadaku.  Kau tahu kenapa? Ia kesakitan karena terlalu lama menyimpanmu di dalamnya.  Ia tak pernah menyesal menyimpanmu dalam-dalam di sana, tapi ia hanya sedikit lelah karena ruang itu semakin sempit, rapat, hingga membuatnya hampir tak bisa bernapas.  Kau mungkin tak bisa melihat bahkan merasanya, tapi kau bisa sedikit membuatnya bernapas lega hanya dengan sedikit perhatian yang kau punya.  Ruang ini tak begitu luas, kau tak bisa bergerak secara bebas.  Ke mana pun kau mencoba mencari jalan ke luar, tetap saja kau terperangkap di dalamnya.  Entahlah, hingga kini pun aku masih mencoba mencari di mana pintu itu berada, pintu yang bisa mengeluarkanmu dari dalamnya lalu aku bisa bernapas lega.

Tapi... sepertinya napasku akan semakin tercekat bahkan kehilangan nyawa jika benar kau menemukan pintu itu lalu ke luar, pergi meninggalkannya dan tak pernah kembali lagi. Jangan!  Jangan pergi, tetaplah di sini hingga ruang itu semakin sempit tak berjarak.  Biar kutahan rasa sakitnya hingga berdarah-darah karena aku tak bisa memilikimu seutuhnya.  Kau sudah mengisi penuh relung hati di seberang sana, aku tak mau kau terjebak lebih lama di sana.  Aku ingin kau tetap berada di sini, memenuhi ruang kecil milikku hingga aku tak mampu lagi menahannya dan membiarkanmu beristirahat di dalamnya karena terlalu lelah mencari jalan ke luar.

Tidak.  Tidak mungkin aku sejahat itu, mempertahankan keegoisan demi kebahagiaan semu untukku.  Tenang, aku hanya memintamu untuk singgah sejenak.  Setidaknya hingga luka lebam ini sudah tertutupi oleh sedikit balutan perhatianmu.  Luka lebam yang kudapat dari ia yang tak pernah mengerti arti tulus mencintai.  Sedikit titik berbekas dengan tetes darah merah di atasnya yang sudah mulai mengering ketika kau masuk di ruang kecil itu.  Aku tak akan memaksamu untuk terus berada di dalamnya hingga membuatmu tak mampu bernapas lega.

Aku ini mencintaimu, sungguh takkan kubiarkan rasaku mencambukmu dengan angkuh.  Aku hanya ingin melihatmu tanpa luka di sekujur tubuh bekas tusukan wanitamu terdahulu.  Biar, biar saja ini berjalan dengan kuasanya sang waktu hingga nanti aku harus melepasmu di titik nadir rasa yang tak mungkin pernah luruh.  Saat mata mulai terutup, mengutip banyak kata tentang aku dan kamu.

1 comment:

  1. Wah, baca judul postingan ini jadi inget, semester 1 kelas X di kelas sempat ada tugas mandiri bikin antologi puisi kelas. Awalnya mau dikasih judul Nadir, tapi gak jadi hehehe

    ReplyDelete