Ruang ini semakin
kosong. Di sini, di bagian sebelah kiri
dadaku. Kau tahu kenapa? Ia kesakitan
karena terlalu lama menyimpanmu di dalamnya.
Ia tak pernah menyesal menyimpanmu dalam-dalam di sana, tapi ia hanya
sedikit lelah karena ruang itu semakin sempit, rapat, hingga membuatnya hampir
tak bisa bernapas. Kau mungkin tak bisa
melihat bahkan merasanya, tapi kau bisa sedikit membuatnya bernapas lega hanya
dengan sedikit perhatian yang kau punya.
Ruang ini tak begitu luas, kau tak bisa bergerak secara bebas. Ke mana pun kau mencoba mencari jalan ke
luar, tetap saja kau terperangkap di dalamnya.
Entahlah, hingga kini pun aku masih mencoba mencari di mana pintu itu
berada, pintu yang bisa mengeluarkanmu dari dalamnya lalu aku bisa bernapas
lega.
Tapi... sepertinya
napasku akan semakin tercekat bahkan kehilangan nyawa jika benar kau menemukan
pintu itu lalu ke luar, pergi meninggalkannya dan tak pernah kembali lagi.
Jangan! Jangan pergi, tetaplah di sini
hingga ruang itu semakin sempit tak berjarak.
Biar kutahan rasa sakitnya hingga berdarah-darah karena aku tak bisa
memilikimu seutuhnya. Kau sudah mengisi
penuh relung hati di seberang sana, aku tak mau kau terjebak lebih lama di
sana. Aku ingin kau tetap berada di
sini, memenuhi ruang kecil milikku hingga aku tak mampu lagi menahannya dan
membiarkanmu beristirahat di dalamnya karena terlalu lelah mencari jalan ke
luar.
Tidak. Tidak mungkin aku sejahat itu, mempertahankan
keegoisan demi kebahagiaan semu untukku.
Tenang, aku hanya memintamu untuk singgah sejenak. Setidaknya hingga luka lebam ini sudah tertutupi
oleh sedikit balutan perhatianmu. Luka
lebam yang kudapat dari ia yang tak pernah mengerti arti tulus mencintai. Sedikit titik berbekas dengan tetes darah
merah di atasnya yang sudah mulai mengering ketika kau masuk di ruang kecil
itu. Aku tak akan memaksamu untuk terus
berada di dalamnya hingga membuatmu tak mampu bernapas lega.
Aku ini mencintaimu,
sungguh takkan kubiarkan rasaku mencambukmu dengan angkuh. Aku hanya ingin melihatmu tanpa luka di
sekujur tubuh bekas tusukan wanitamu terdahulu.
Biar, biar saja ini berjalan dengan kuasanya sang waktu hingga nanti aku
harus melepasmu di titik nadir rasa yang tak mungkin pernah luruh. Saat mata mulai terutup, mengutip banyak kata
tentang aku dan kamu.
Wah, baca judul postingan ini jadi inget, semester 1 kelas X di kelas sempat ada tugas mandiri bikin antologi puisi kelas. Awalnya mau dikasih judul Nadir, tapi gak jadi hehehe
ReplyDelete