Aku
sudah lama belajar Bahasa Indonesia, bahkan aku sudah pandai mengeja namamu
lalu menuliskannya di setiap lembar diary
yang memotret kisah hidupku. Membawamu di setiap percakapanku dengan teman
curhat terbaikku. Kamu, selalu jadi topik terhangat di setiap bahasan yang kami
kupas tuntas di setiap sepertiga malam. Aku sengaja
membuat jadwal rutin saat orang lain sibuk bercengkerama dengan orang terkasih
lewat dunia mimpi. Iseng sih, tapi iseng yang sudah direncanakan. Karena kamu.
Aku
tak berniat membicarakanmu dari belakang, hanya saja aku terlalu pengecut untuk
mengucap rangkaian kalimat yang biasa kami diskusikan di sela perbincangan.Aku
takut kehilanganmu ketika kamu tahu tentang rasaku.Membicarakan semua tentang
kamu, tentang kita. Mulai dari kedekatan kita yang dimulai beberapa tahun lalu,
saat kita masih memakai seragam abu-abu. Saat itu tubuhmu tak setegap ini,
tulang rahangmu masih terlihat begitu tirus di kala itu. Di saat pandanganmu
mulai tertuju pada sosok yang membuatmu luluh.
Ketika
itu aku hanya sesosok biasa yang sama sekali tak kamu ingini. Tak seperti gadis
berwajah ayu yang kini mengisi relung hatimu, hingga tak ada sedikitpun ruang
kosong yang kamu sisakan untukku. Sedang aku? Bahkan semua ruang itu aku
siapkan dengan matang untuk kamu isi di kemudian hari, nanti saat kamu membuka
matamu. Ketika kamu sudah menyadari, bahwa Tuhan rela menyediakan waktunya
untuk membicarakanmu dan mempertimbangkan pintaku, mejadikanmu pelabuhan
terakhirku.
Aku
bahkan rela membiarkan orang lain merobek hatiku hanya karena aku mencoba
melupakanmu dengan kesalahan-kesalahan di masa lalu, semua karena kamu. Tapi
ternyata, hatiku tak bisa berbohong. Meski banyak pelabuhan yang kusinggahi
setelah melihatmu bersama gadismu, tetap saja hingga kini cuma kamu yang
bersarang di benakku.
Aku
sering membicarakanmu, membicarakan sosok lain yang mengisi ruang hatimu. Saat
itu aku meminta supaya Tuhan menjagamu untukku, saat itulah aku menangis dalam pelukan-Nya.
Aku mengadu pada-Nya tentang semua yang kamu lakukan padaku. Kamu pergi ketika
kamu mengenyam rasa manis bersama sosok itu, tapi kamu kembali ketika tak ada
lagi hal manis yang kamu temui pada wanita itu, dan ini terjadi berulang kali.
Bagaimana
mungkin aku menolak kedatanganmu, meski hanya pelampiasan dari wanitamu? Aku
ini mencintaimu, meski tak pernah sedikitpun kamu tahu atau bahkan tidak mau
tahu. Aku siap menjaga rasa ini hingga nanti saatnya tiba, saat sebuah benda
kecil berbentuk lingkaran kamu sematkan di jemari manisku, lalu kemudian
kecupan hangat di keningku mengalir hangat ke sekujur tubuh mewakili isi
hatimu. Itu doaku pada Tuhan di setiap sepertiga malamku. Yang tak pernah kamu
tahu.