Topik seputar pernikahan agaknya
membuat gadis itu kesulitan tidur beberapa waktu belakangan. Di tengah
pendidikan yang mengharuskan dia jauh dari orangtua dan kekasihnya, dia juga
harus memikirkan bagaimana masa depannya kelak. Bagaimana jika dia dan
kekasihnya berada di kota yang berbeda? Bagaimana dengan rencana mereka untuk
menikah? Dan bagaimana nasib anak-anak mereka kelak?
Salahkah jika dia memikirkan hal yang demikian saat ini? Atau
terlalu dini untuk memikirkan hal itu? Dia selalu mencoba untuk menahan diri,
untuk tidak membebankan kekasihnya dengan topik seputar pernikahan jika mereka
bertemu atau sekadar mengobrol via telepon. Dia takut jikalau segala kelu dan
keinginannya untuk membangun biduk rumah tangga itu membuat kekasihnya resah.
Dia tahu persis apa yang tengah
mereka jalani saat ini, tentang apakah mereka akan menikah dalam waktu dekat,
tentang apakah mereka akan bisa segera mewujudkan segala mimpi bersama.
Baginya, hal tersulit dalam hubungan mereka bukanlah tentang bagaimana cara
mengumpulkan uang sebanyaknya supaya bisa menyegerakan, tapi tentang menahan
segala rindu yang selalu berhasil menyesakkan dada hingga pedih terasa.
Dia juga tahu persis kalau mereka
belum punya tabungan yang cukup untuk menikah dalam waktu dekat, dia juga tahu
persis dia tidak mungkin membebankan kekasihnya untuk segala hal itu, dia juga
tahu kalau mereka belum bisa menikah dalam waktu dekat karena banyak hal itu.
Tapi, dia selalu yakin dan
percaya kalau segala niat baik itu akan dimudahkan jalannya. Entah dengan
mereka didekatkan atau hal lainnya. Dia yakin, selama dia tidak memberatkan
kekasihnya dengan banyak pinta, tentulah impian indah itu akan segera
terlaksana.
Kau tahu, dia kerap menahan rindu
ketika ingat kekasihnya tengah lelah dalam tugasnya. Menyeka air mata tatkala
melihat teman sebaya sudah menikah dan bahkan hampir punya anak lebih dulu dari
mereka. Bukan iri, tidak. Dia tidak iri sama sekali, hanya saja dia merasa
kalau temannya lebih beruntung karena sudah diizinkan untuk menghalalkan segala
tingkah laku yang tadinya haram untuk dilakukan. Hanya itu.
Saat ini, tak ada yang bisa dia
lakukan selain menyemangati kekasihnya dengan kalimat: “Udah jangan dipikirin,
niat baik pasti ada jalannya” yang sebenarnya adalah penyemangat untuk dirinya
sendiri. Sebab, dia tahu, dia tidak mungkin memaksa kekasihnya untuk
menikahinya besok sementara keadaan tidak memungkinkan.
Tak ada yang bisa dia lakukan
selain menahan diri untuk tidak memaksa kekasihnya, dia mencintai kekasihnya. Tidak
ada hal yang bisa memberinya opsi untuk meninggalkan kekasihnya. Laki-laki lain
yang lebih mapan? Tentulah bukan menjadi takaran, jika dia mau bisa saja, sejak
lama dia pergi bersama laki-laki lain yang kaya materi tapi miskin hati. Atau
laki-laki yang lebih taat? Bagaimana bisa, jika dirinya saja masih jauh dari
taat. Terkecuali, jika kelak suatu saat kekasihnya berubah pikiran di tengah
perjalanan. Kekasihnya memutuskan untuk tidak bersamanya lagi untuk kedua
kalinya, dia sudah berjanji untuk dirinya sendiri dan kebahagiaan kekasihnya,
dia tidak akan menahnnya lagi, meski rasa cinta dan kasih sayangnya tak berubah
seujung kuku pun. Karena hakikat mencintai sesungguhnya adalah melepaskan.
Dia hanya bisa berharap dan
berdoa semoga Tuhan segera mengabulkan.