Setiap kita pasti punya banyak ingin dan harap
yang tak semuanya kita bagi untuk didengar orang lain, tak terkecuali sahabat.
Pun aku, ada banyak harap dalam hati dan kepala. Harap tentang perkerjaan yang
baik, keluarga yang bahagia, juga tentang pendamping hidup yang membawa
kedamaian. Punya mimpi bekerja di perusahaan yang dapat dijadikan tempat
menggantungkan masa depan, namun hanya untuk beberapa waktu saja karena pada
hakikatnya diri lebih ingin berniaga saja. Ingin mencari rezeki halal dan
berkah dengan tujuan yang tak lain hanyalah ingin menjadi manusia yang
bermanfaat bagi orang banyak. Sebab aku tahu persis kalau ibadah pribadi saja
tak cukup untuk mencari keridhoan-Nya.
Umumnya, wanita masa kini yang gemar pergi ke
sana sini tentulah mencari sosok laki-laki mapan yang mampu memenuhi segala
kebutuhannya tanpa perlu banyak menguras keringat hanya untuk sekadar membeli
bedak atau lipstick mahal supaya
dibilang “kekinian”. Siapa yang tak mau punya suami seperti itu? Tentulah itu
hal realistis karena modal cinta saja tidak cukup untuk membangun masa depan,
apalagi yang bercita-cita punya anak banyak sampai-sampai bisa diajak main
sepak bola di rumah.
Umumnya, laki-laki masa kini yang gemar tebar
pesona sana-sini tentulah mencari sosok perempuan cantik yang bisa dibanggakan
tatkala bertemu sanak saudara, tapi mau diajak hidup susah. Lah, ini mau ngajak
nikah atau mau ngajak susah? Realistis saja, siapa coba yang mau hidup susah? Laki-laki kadang salah kaprah, kukira kalimat yang paling pas adalah seperti ini, “Mau
cari pasangan yang mau diajak berjuang bersama menuju kebaikan.” Kenapa begitu?
Sebab hidup mewah tak lantas membuat seseorang itu menjadi baik. Malah kadang
terlena akan segala kemewahan, tapi kemiskinan juga sering membawa kekufuran.
Maka dari itu, kukira alangkah bahagianya jika mendapat pasangan hidup yang
memiliki visi dan misi yang sama, yaitu menuju kebaikan.
Terlepas dari itu semua, beberapa waktu ke
belakang aku dipertemukan pada satu sosok yang tak pernah kukira akan menjadi
bagian dari cerita hidupku. Dia, seorang laki-laki yang tak pernah kukenal
sebelumnya, padahal ternyata kami berada dalam satu almamater saat menempuh
pendidikan D3. Dia laki-laki yang tak pernah kudengar namanya sama sekali saat
itu.
Kala itu, aku ingat betul saat pertama kali
dia menambahkan akun pribadiku di akun pribadinya. Awalnya aku hanya melihat
sekilas karena sudah tak aneh jika anak jurusannya menambahkan beberapa akun
pribadiku karena banyak temannya yang juga temanku sewaktu sekolah dulu. Jurus
selanjutnya adalah membeli novelku, saat kutanyakan komentarnya, ternyata dia
hanya membaca sekilas, katanya (padahal ternyata cuma dibaca di bagian depan
saja).
Lambat laun kami pun semakin sering
berkomunikasi, padahal aku adalah karakter yang paling risih kalau ada
laki-laki yang suka iseng, apalagi suka nanya-nanya “lagi ngapain? atau “sudah
makan belum?”. Kan ngeselin. Aku bukan tipe yang mau buang-buang waktu untuk
urusan yang tidak ada kepentingannya untuk segala mimpi dan masa depanku.
Setelah beberapa waktu, tepatnya di hari raya
Idul Fitri dia datang ke rumah sendirian dengan berani menyapa Ayahku yang
hanya berekspresi datar saat itu. Komunikasi pun semakin intens, pelan-pelan
aku menyelami karakternya, sampai pada saat itu kami mengutarakan apa yang kami
rasakan. Tentu tidak seperti anak SMA yang mengutarkan isi hati dengan segala
macam tingkah konyol. Kami hanya mengutarkan beberapa hal tentang keinginan di
masa depan dan kami pun menuju satu titik persetujuan.
Dia, laki-laki itu berhasil mendobrak pintu
pertahananku setelah lebih dari tiga tahun kekeuh untuk berfokus pada mimpi dan
cita-citaku saja dulu. Dia dengan segala yang dia miliki berhasil membuatku
memberanikan diri untuk melangkah maju dengan sama-sama berkomitmen untuk
saling menguatkan, saling berusaha, dan mencari keridhoan-Nya.
Laki-laki itu, kesederhanannya membuatku jatuh
hati. Kelembutan dan kesabarannya membuatku menyadari bahwa tak ada lagi yang
aku cari. Aku hanya butuh “kententraman” batin, dan pada dia kutemukan itu.
Laki-laki itu pandai membuat hati yang gusar menjadi hilang cemasnya, membuat
rindu yang memuncak menjadi tenang hanya dengan mendengar suaranya. Dia, dia
bagai kakak yang menyayangi adik, bagai Ayah yang melindungi anaknya, juga
sahabat yang mengerti sahabatnya.
Laki-laki itu mengajarkanku tentang indahnya
berbagi meski dalam kekurangan, hingga rasa syukur tak henti dipanjatkan. Saat
kutelisik dalam-dalam manik matanya, ada damai yang juga menusuk hingga ke
dada. Entahlah, setiap aku mencoba menemukan sesuatu di dalamnya, aku seperti
berhenti pada satu ruang yang tak pernah mau kutinggalkan.
Saat ini, tak ada doa lain yang kupanjatkan
setelah doa untuk kedua orangtua dan saudaraku, yaitu doa baru untuknya, aku, dan kami. Doa
yang senantiasa kuuntai dalam setiap sujudku itu mudah-mudahan terjamah oleh
tangan-Nya yang Maha Kuasa Itu.
Aku ingin hidup bersamanya, memperbaiki diri
satu sama lain, saling mengingatkan satu sama lain. Kukira aku telah jatuh hati
padanya, laki-laki sederhana nan menentramkan hati dan jiwa. Laki-laki yang tak
pernah mau banyak mengumbar janji, namun berusaha untuk menepati. Laki-laki
yang tak begitu romantis, namun tak pernah mau melihatku menangis. Laki-laki
yang belum mapan, namun berkerja keras untuk menghalakanku di masa depan.
Ingatlah, tak ada hal lain yang selalu kupinta
atas segala mimpi dan cita-cita kita, ialah kau yang selalu disehatkan dan
dilancarkan dalam segala urusanmu, Sayang.