Titik.
Kurasa tidak ada yang bisa mendikte secara tegas kapan titik itu bisa ia temui,
pun aku. Hari ke hari bertatap muka secara langsung dengan perjalanan panjang
yang kutahu titiknya tak akan pernah kutemu, sebab aku tahu secara jelas bahwa
kita semua sedang dalam perjalanan.
Kurun
waktu satu tahun ini banyak jalan yang kutemu sebagai simbol dari Allah bahwa
titik yang kutuju hanyalah sebuah amunisi pendorong bagi kuatnya pengharapanku
terhadap angan yang kubangun sendiri dalam ruang kepalaku. Tentang sebuah kursi
dalam ruangan, tempat menumpahkan isi kepala demi cita-cita di masa depan,
tentang pasangan hidup yang siap berkongsi menuju rumah tangga yang samawa,
tentang hidup di bawah atap sederhana namun berlimpah berkah, juga tentang
mencipta lengkung bahagia di bibir banyak manusia lainnya.
Pernahkah
kau merasa bahwa Allah selalu meletakkanmu di tempat yang bahkan kau sendiri
selalu menghindarinya? Tentang tempat yang seolah membuatmu jatuh ke lubang
paling juram dalam hidupmu. Saat ini, aku tengah berada di dalamnya. Allah
begitu baik padaku, semua yang di luar kemampuan kepala dan hatiku untuk
kuterka kini malah menjadi rutinitas dalam hidupku.
Sedikit
menoleh ke belakang, aku pernah berada dalam puncak pengharapan paling tinggi.
Diberi kesempatan oleh-Nya untuk mengasah segala kemampuanku hingga ke titik
terakhir rekrutmen sebuah instansi dan Dia dengan baiknya memberiku
pembelajaran paling sulit dalam hidup, yaitu ikhlas. Perjuangan panjang itu
berakhir dengan kegagalan. Semua mata yang tadinya berisi harap dan doa untukku
kini berubah menjadi iba, bahkan cemooh. Sungguh, Allah begitu baik padaku.
Siapa
yang sanggup memakai topeng sekeras baja jika pada nyatanya di dalamnya lebih
lembut daripada lumpur? Kukira tidak ada, tapi percayalah, aku berhasil
melakukannya. Menyuguhkan senyum paling rekah bagi mereka yang memandang,
menyimpan rapat segala yang menderu dalam kepala dan dada tentang semua mimpi
dan cita-cita. Lagi-lagi, ilmu ikhlas mulai menjamah dadaku pelan-pelan.
Enam
bulan berada dalam lingkar tanya sinis dari banyak pasang mata. “Kenapa nggak
lulus?”, “Nggak ada orang dalam, ya?” dan sebagainya. Banyak tanya mengaum di kepala. Sungguh, taat itu tidak
semudah meremat bungkus cokelat, lalu membuangnya ke tong sampah.
Pelan-pelan,
Allah membukakan jalan lewat perusahaan properti yang bersedia “bermain judi”
karena memilihku sebagai Sekretaris Direktur dari sekian banyak kandidat yang
lebih qualified dariku. Kalau bukan
tangan Allah yang tidak turut serta, lantas bagaimana itu semua terjadi?
Kebimbangan
menyelubungi isi kepala, tentang profesi yang akan kujalan itu. Profesi yang
banyak kontroversi, hanya beberapa kepala saja yang bisa menelan makna “Sekretaris”
adalah seseorang yang berfungsi untuk membantu kelancaran kegiatan operasional
pimpinan dalam perusahaan, yang lainnya? Tentu sama saja.
Hari
ke hari, pekan ke pekan, bulan ke bulan, dengan melangitkan doa yang sama
setiap hari supaya langkahku dimudahkan dan hatiku dilapangkan, Allah kembali
memberiku kejutan. Lagi dan lagi. Teman seperjuangan yang juga sekantor
denganku lebih dulu ditarik menuju cita-citanya, sementara aku masih harus
bergulat dengan harap dan usaha yang aku sendiri tidak tahu kapan menuju
titiknya. Lagi-lagi, kukira titik itu tidak ada.
Satu
bulan ini, aku menjamah banyak angka dalam komputer. Mengelola segala bentuk
keuangan perusahaan, menggantikan posisinya, tapi Allah sangat baik, aku
dibiarkan mengendalikan dua posisi, sekretaris direktur dan asisten manajer
keuangan setiap harinya. Berburu data dan membuat laporan untuk dua pimpinan
itu cukup membuat napas sedikit tersendat, yang tadinya banyak waktu luang bisa
dipakai untuk menulis, kini sudah tidak ada lagi. Menyentuh HP barang sebentar
pun sudah jarang kutemui.
Sungguh,
Allah punya rencana yang diluar kemampuan akalku untuk menerka. Aku tidak
pernah membayangkan sebelumnya untuk berkubang dalam dunia angka, apalagi
keuangan. Selain karena aku tidak punya basic-nya,
aku juga tidak sanggup kalau harus menelan pahitnya ketidaktelitian. Akan
tetapi, lagi-lagi Allah maha tahu apa yang terbaik untuk umat-Nya, semakin aku
meyakinkan diriku sendiri kalau aku tidak mampu, semakin Allah memberiku jalan
untuk ke sana. Saat ini, pelan-pelan aku mulai membuka jalan bagi “ikhlas”
dalam menjalani hidup ini.
Beberapa
hari terakhir, waktu yang kutunggu untuk balas dendam pada kegagalanku di tahun
sebelumnya tiba, instansi itu membuka rekrutmen lagi. Semua sudah kusiapkan
dengan matang, meski apa pun hasilnya nanti. Lagi-lagi, Allah ingin memberiku
banyak lagi pembelajaran tentang ikhlas, di hari rekrutmen dibuka, aku gagal
untuk turut serta karena tidak ada lowongan untuk wanita bagi jurusanku. Satu
tahun menunggu, tapi malah tidak bisa mendaftar sama sekali. Sedih? Jangan
ditanya lagi. Satu tahun ini aku sibuk meyakinkan diri kalau kegagalanku
kemarin hanyalah satu sentilan dari Allah kalau aku harus menimba ilmu lebih
banyak lagi sebelum benar-benar siap menjalani semua cita-cita dan mimpi.
Saat
ini, kukira Allah ingin aku belajar lebih banyak lagi. Lebih banyak ikhasl
lagi, juga tentang isi hati yang diam-diam meronta karena sudah lama tak
diobati. Berteman dengan sepi bukanlah sebuah kehancuran dengan harga mati,
bila diiringi dengan nia tulus untuk memperbaiki diri.
Ketika
kerja keras dan pengorbananmu tidak sebanding dengan apa yang kau dapat,
menangis bukanlah pilihan terbaik untuk membuatnya baik-baik saja. Tidak perlu
banyak tanya dalam kepala, cukup jalani dan yakini bahwa Allah punya rahasia
yang sempurna untuk nantinya kau teguk manis ujungnya. Barokallah.