Thursday, 1 October 2015

SEDANG DALAM PERJALANAN



Titik. Kurasa tidak ada yang bisa mendikte secara tegas kapan titik itu bisa ia temui, pun aku. Hari ke hari bertatap muka secara langsung dengan perjalanan panjang yang kutahu titiknya tak akan pernah kutemu, sebab aku tahu secara jelas bahwa kita semua sedang dalam perjalanan. 

Kurun waktu satu tahun ini banyak jalan yang kutemu sebagai simbol dari Allah bahwa titik yang kutuju hanyalah sebuah amunisi pendorong bagi kuatnya pengharapanku terhadap angan yang kubangun sendiri dalam ruang kepalaku. Tentang sebuah kursi dalam ruangan, tempat menumpahkan isi kepala demi cita-cita di masa depan, tentang pasangan hidup yang siap berkongsi menuju rumah tangga yang samawa, tentang hidup di bawah atap sederhana namun berlimpah berkah, juga tentang mencipta lengkung bahagia di bibir banyak manusia lainnya. 

Pernahkah kau merasa bahwa Allah selalu meletakkanmu di tempat yang bahkan kau sendiri selalu menghindarinya? Tentang tempat yang seolah membuatmu jatuh ke lubang paling juram dalam hidupmu. Saat ini, aku tengah berada di dalamnya. Allah begitu baik padaku, semua yang di luar kemampuan kepala dan hatiku untuk kuterka kini malah menjadi rutinitas dalam hidupku.

Sedikit menoleh ke belakang, aku pernah berada dalam puncak pengharapan paling tinggi. Diberi kesempatan oleh-Nya untuk mengasah segala kemampuanku hingga ke titik terakhir rekrutmen sebuah instansi dan Dia dengan baiknya memberiku pembelajaran paling sulit dalam hidup, yaitu ikhlas. Perjuangan panjang itu berakhir dengan kegagalan. Semua mata yang tadinya berisi harap dan doa untukku kini berubah menjadi iba, bahkan cemooh. Sungguh, Allah begitu baik padaku.

Siapa yang sanggup memakai topeng sekeras baja jika pada nyatanya di dalamnya lebih lembut daripada lumpur? Kukira tidak ada, tapi percayalah, aku berhasil melakukannya. Menyuguhkan senyum paling rekah bagi mereka yang memandang, menyimpan rapat segala yang menderu dalam kepala dan dada tentang semua mimpi dan cita-cita. Lagi-lagi, ilmu ikhlas mulai menjamah dadaku pelan-pelan.

Enam bulan berada dalam lingkar tanya sinis dari banyak pasang mata. “Kenapa nggak lulus?”, “Nggak ada orang dalam, ya?” dan sebagainya. Banyak tanya  mengaum di kepala. Sungguh, taat itu tidak semudah meremat bungkus cokelat, lalu membuangnya ke tong sampah. 

Pelan-pelan, Allah membukakan jalan lewat perusahaan properti yang bersedia “bermain judi” karena memilihku sebagai Sekretaris Direktur dari sekian banyak kandidat yang lebih qualified dariku. Kalau bukan tangan Allah yang tidak turut serta, lantas bagaimana itu semua terjadi?

Kebimbangan menyelubungi isi kepala, tentang profesi yang akan kujalan itu. Profesi yang banyak kontroversi, hanya beberapa kepala saja yang bisa menelan makna “Sekretaris” adalah seseorang yang berfungsi untuk membantu kelancaran kegiatan operasional pimpinan dalam perusahaan, yang lainnya? Tentu sama saja. 

Hari ke hari, pekan ke pekan, bulan ke bulan, dengan melangitkan doa yang sama setiap hari supaya langkahku dimudahkan dan hatiku dilapangkan, Allah kembali memberiku kejutan. Lagi dan lagi. Teman seperjuangan yang juga sekantor denganku lebih dulu ditarik menuju cita-citanya, sementara aku masih harus bergulat dengan harap dan usaha yang aku sendiri tidak tahu kapan menuju titiknya. Lagi-lagi, kukira titik itu tidak ada.

Satu bulan ini, aku menjamah banyak angka dalam komputer. Mengelola segala bentuk keuangan perusahaan, menggantikan posisinya, tapi Allah sangat baik, aku dibiarkan mengendalikan dua posisi, sekretaris direktur dan asisten manajer keuangan setiap harinya. Berburu data dan membuat laporan untuk dua pimpinan itu cukup membuat napas sedikit tersendat, yang tadinya banyak waktu luang bisa dipakai untuk menulis, kini sudah tidak ada lagi. Menyentuh HP barang sebentar pun sudah jarang kutemui. 

Sungguh, Allah punya rencana yang diluar kemampuan akalku untuk menerka. Aku tidak pernah membayangkan sebelumnya untuk berkubang dalam dunia angka, apalagi keuangan. Selain karena aku tidak punya basic-nya, aku juga tidak sanggup kalau harus menelan pahitnya ketidaktelitian. Akan tetapi, lagi-lagi Allah maha tahu apa yang terbaik untuk umat-Nya, semakin aku meyakinkan diriku sendiri kalau aku tidak mampu, semakin Allah memberiku jalan untuk ke sana. Saat ini, pelan-pelan aku mulai membuka jalan bagi “ikhlas” dalam menjalani hidup ini. 

Beberapa hari terakhir, waktu yang kutunggu untuk balas dendam pada kegagalanku di tahun sebelumnya tiba, instansi itu membuka rekrutmen lagi. Semua sudah kusiapkan dengan matang, meski apa pun hasilnya nanti. Lagi-lagi, Allah ingin memberiku banyak lagi pembelajaran tentang ikhlas, di hari rekrutmen dibuka, aku gagal untuk turut serta karena tidak ada lowongan untuk wanita bagi jurusanku. Satu tahun menunggu, tapi malah tidak bisa mendaftar sama sekali. Sedih? Jangan ditanya lagi. Satu tahun ini aku sibuk meyakinkan diri kalau kegagalanku kemarin hanyalah satu sentilan dari Allah kalau aku harus menimba ilmu lebih banyak lagi sebelum benar-benar siap menjalani semua cita-cita dan mimpi.

Saat ini, kukira Allah ingin aku belajar lebih banyak lagi. Lebih banyak ikhasl lagi, juga tentang isi hati yang diam-diam meronta karena sudah lama tak diobati. Berteman dengan sepi bukanlah sebuah kehancuran dengan harga mati, bila diiringi dengan nia tulus untuk memperbaiki diri. 

Ketika kerja keras dan pengorbananmu tidak sebanding dengan apa yang kau dapat, menangis bukanlah pilihan terbaik untuk membuatnya baik-baik saja. Tidak perlu banyak tanya dalam kepala, cukup jalani dan yakini bahwa Allah punya rahasia yang sempurna untuk nantinya kau teguk manis ujungnya. Barokallah.